04. Paraf Yang Sama

178 38 290
                                    

~AUTHOR DOUBLE UP~

📌
Biasakan vote lebih dulu sebelum membaca🤎

○○》《○○

Suara ayam tetangga terdengar begitu nyaring bersahutan dengan berkumandangnya adzan subuh. Pagi-pagi sekali lelapnya Dito di sadarkan oleh suara orang yang tengah sapu-sapu halaman di samping rumah. Kelopak matanya membuka perlahan-lahan, dia tidak tahu pastinya akan pukul berapa saat ini juga belaian tangan yang sedari tadi Dito rasakan mengelus-elus kepalanya.

"Eyang?" Dito tersentak kaget dalam posisi setengah bangun, bahkan tanpa sempat mengumpulkan nyawa dahulu.

"Ada apa?"

Eyang tertawa kecil. "Kok kamu tidur di sini?" tanyanya lembut.

Dito menghela napas, diam sebentar untuk sekadar mengucak-ngucak matanya yang penuh dengan belek. Semalam Dito memang sempat tertidur di dalam kamarnya, cuman dengkuran Niko yang begitu mengganggu membuatnya mau gak mau harus pindah tempat ke ruang tengah. Secara suka rela memilih tidur di sofa, dari pada di dalam kamar tapi tak nyenyak.

"Semalam ketiduran," elaknya. Dito tidak mau sampai menyalahkan, dia tahu dengkuran itu sesuatu yang dilakukan di luar kesadaran manusia.

Di antara kecanggungan sementara, eyang putri tersenyum sambil mengangguk-ngangguk. Dia cukup mafhum; cucunya suka hidup dalam kesederhanaan, meski ada kalanya keras kepala; namun itupun mengacu pada segala sesuatu yang menjadi pilihannya. Sejak memasuki usia remaja Dito disukai oleh banyak orang karena pemikirannya yang kritis, dia bisa berpikir secara rasional dan tertata, memahami hubungan antara ide dan fakta. Maka tidak salah berprofesi sebagai seorang jurnalis: menjadi keputusannya.

"Sarapan ya, di atas meja ada bubur." kata eyang, Dito mengiyakan dengan sebuah senyuman.

Lelaki tak acap bicara seperti Dito memang cukup sulit untuk bisa memulai segala obrolan. Beberapa tahun silam ketika Dito memacari seorang perempuan pun, memikirkan topik perlu waktu beberapa menit. Dan alih-alih akan terlontar pertanyaan, "Sudah makan belum?" atau kalimat "Selamat malam dan mimpi indah." barangkali. Dito hanya membuka serta menuntun percakapan pada masalah-masalah politik yang menurutnya masih kurang efisien untuk negeri kita yang belum maju. Alias masih menjadi negara berkembang.

Soraya namanya. Dito menyukainya karena setelah kenal cukup dekat dengan perempuan itu. Dia menyadari ada suatu ketertarikan dari hatinya untuk perempuan itu. Dari mulai topiknya yang di bahas tidak hanya mengarah pada brand-brand kecantikan saja, atau artis favoritnya. Tapi juga ada bahasan mengenai hal-hal konkret di dunia ini, terselip dalam setiap tutur katanya. Kadang-kadang dia juga berpendapat tentang buku baru yang baru saja di pelajarinya. Sederhana, Dito menyukai perempuan yang pemikirannya luas. Bukan perempuan yang joget-joget depan kamera lalu uploud story atau sindir menyindir lewat status saja.

Hubungan mereka berjalan sekitar lima bulan lamanya. Di pertengahan semester, Soraya memutuskannya sepihak. Alasannya cukup logis untuk Dito yang mampu berpikir panjang dan lebih luas, mengerti seandainya dia ada di pihak Soraya mungkin dia juga akan melakukan hal yang sama. Perempuan itu berpendapat; Dito terlalu sibuk dengan pekerjaan serta urusannya sendiri. Meski kenyataannya dia pun ingin menjalani gaya pacaran yang apa adanya, tapi sama seperti perempuan-perempuan pada umumnya, dia juga ingin merasakan akan adanya ngedate setiap keduanya memiliki waktu senggang, malam mingguan, menyusuri jalanan Jakarta sambil berpegang tangan.

Waktu senggang mereka habis diisi oleh kegiatan masing-masing. Soraya sudah cukup disibuki oleh urusan kuliahnya di bidang hukum, lalu Dito dengan tugas-tugas kuliah serta pekerjaan sampingannya. Dalam waktu satu minggu mereka hanya bisa sekali makan bersama, menikmati apa yang namanya romantis; itupun salah satu pihak kadang masih harus bergelut dengan angan-angan logikanya akan tugas yang berpatok deadline.

Lukisan Tanpa WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang