06. Seorang Pelukis Jalanan

139 31 245
                                    

Halo readers👋 maaf sedikit lama yaa, tapi sebagai gantinya aku double up...

Btw ada yang tanya cast nya gendis siapa, jawabannya aku pakai mukanya Jeon Somi heheh cakeup bangedd dia tuhh gak paham lagi🫠

Okeyy dehh selamat membaca🤎

📌
Biasakan vote lebih dulu sebelum membaca

📌Biasakan vote lebih dulu sebelum membaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~Esensi mencintai~

°°°♧♧°°°

Sorak-sorai dari ramainya penonton pertandingan kastil membungkam siang yang terbilang cukup mendung saat itu. Gendis dengan seluruh pikiran yang ia biarkan terbang, menatap kosong pada pertandingan bola kastil di hadapan pada lapangan rumput yang areanya cukup luas untuk eksistensinya yang berada di belakang gedung sekolah. Sebagian teman-teman perempuannya ikut meriahkan suasana, melompat-lompat girang sembari teriak-teriak laksana suporter bola.

"Dis!" Rumi menyenggol lengannya dari samping, spontan membuatnya terjingkat kecil.

"Lihat tuh si Wirya, liatin kamu terus dari tadi."

Gendis melirik, tepat ketika pria itu melihat ke arah dirinya. Mimik salah tingkah langsung bisa dia tangkap dari wajah Wirya yang kini tengah tertawa kecil dilengkapi garuk-garuk rambut. Tapi masa bodo dengan Wirya dan lelaki-lelaki lain yang memang Gendis sadari tengah memperhatikannya, karena dia justru malah teringat akan seorang lelaki tak banyak bicara yang dijumpainya kemarin sore, duduk di antara ingar bingar kota, diterpa hangatnya hembusan angin.

Bunyi suara peluit memekakan telinga, menyadarkan Gendis dari lamunannya. Seorang guru olahraga yang menjadi wasit sudah berdiri di tengah lapangan, siap akan mengumumkan siapa pemenang dari pertandingan tadi pada adegan berikutnya.

Kerumunan yang ada Gendis di dalamnya, melompat-lompat kegirangan. Sorak-sorai kembali terdengar, kali ini Gendis ikut meriahkan; turut melompat-lompat seakan-akan dia memperhatikan. Padahal sejujurnya, separuh angannya masih terbang seperti sebelumnya.

"Aryasatya?"

☆☆☆☆

Sembari menatap asrinya persawahan juga hijaunya padi-padi yang belum di panen. Gendis terdiam di bawah pohon, duduk anggun di sana masih mengenakan seragam sekolahnya. Ia menghargai hembusan angin yang lewat, merasakan udara hangat yang seakan-akan membelai rambutnya membuat keberadaannya seolah lebih berarti berada di sana.

Di tangannya ia genggam sebuah foto sedikit lecak yang bergerak-gerak diterpa angin. Sebuah potret ibunya menggunakan konde dan dibalut barukat dengan pose menyamping. Foto yang seharusnya ia serahkan kepada sang pelukis jalanan yang ditemuinya kemarin sore; sesuai rencana awalnya. Tapi entah kenapa sejak tadi siang, Gendis merasa pikirannya tak jenak akan lelaki itu. Dia merasa ada suatu gejala yang membuat pikirannya terus terpaut akan sosok Aryasatya sampai hatinya pun turut ambil peran.

Lukisan Tanpa WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang