16. Seni Mencintai

63 6 15
                                    

Ada banyak hal yang harus Gendis sesuaikan antara kebiasaannya dengan kebiasaan sang suami, Aryasatya. Ia harus mengikuti ketika Satya mengajaknya menyusuri hutan berdua sebab Satya menyukai alam. Lalu minggu kemarin Satya mengajaknya menjelajah pantai. Meski begitu tidak sekalipun Gendis menolak atau protes dengan kebiasaan Satya, kerap kali pria itu bertanya pendapatnya atau kemana tempat yang mau ia kunjungi, seperti minggu lalu sewaktu di pantai Satya bertanya demikian, Gendis malah menjawab.

"Kemana pun yang penting bersama kamu.."

"Kamu serius?" Satya meyakinkan, lalu yang perempuan mengangguk mantap.

"Dis..."

"Iya?"

"Terima kasih ya."

"Untuk?" Gendis merenggangkan pelukan mereka, matanya kini tertuju pada pria di hadapannya.

Satya tersenyum, mengalahkan hangatnya matahari terbenam. "Membuat saya merasa begitu dicintai."

☆☆☆☆

Kamar memang serupa surga bagi dua manusia yang menjalin cinta dalam ikatan halal. Waktu siang Satya boleh saja disibukan oleh urusan pekerjaan dan Gendis dengan aktivitas barunya sebagai ibu rumah tangga, tapi ketika malam waktu memadu asmara akan selalu tersedia. Untuk berbagi cerita ataupun menciptakan pertempuran ekstase.

Tatapan Gendis melekat pada wajah pria di sampingnya yang masih terpejam. Tangannya yang jahil bergerak lembut mengelus hidung mancungnya. Satya terusik, lalu sigap merangkul tubuh orang yang mengganggunya sampai ia rasa tak ada lagi pergerakan, dalam tidurnya Gendis lihat Satya mengulas senyum. Keadaan kasur yang porak poranda mereka abaikan, selepas pertempuran semalam. Waktu berjalan bagai ruang hampa yang tak mereka gubris, sadar bahwa seharusnya mereka bersiap untuk kegiatan masing-masing pagi itu, tapi sayangnya pertempuran kembali berlanjut.

☆☆☆☆

"Aku buatkan teh ya," Ucap Gendis, menyadarkan Satya yang tengah berkutat dengan alat-alat melukisnya.

Satya balas anggukan, lalu Gendis segara pergi ke dapur. Di rumah yang baru mereka tempati membuatnya masih sering lupa menaruh barang. Seperti saat ini ia kelupaan di mana letak toples gula, sudah sekitar dua menit lamanya ia membiarkan air rebusannya mendingin perlahan-lahan tanpa menyentuh gelas. Bingung akan di mana terakhir kali ia meletakan gula.

Di ruang tengah Satya diam-diam tertawa kecil, sadar dengan teh yang ia nanti-nanti tidak kunjung datang. Hingga akhirnya ia yang menyadarkan.

"Ada di gerobok, sayang."

Gendis menepuk jidat, baru sadar kalau terakhir kali ia menaruhnya di situ supaya tidak di gerubung semut. Teh hangat akhirnya jadi sebuah cangkir berukuran sedang beserta pisinnya dengan senang hati Satya terima.

"Terima kasih ya." ucapnya lembut.

Sang istri tersenyum kemudian mendekat pada Satya yang tengah duduk, tangannya merangkul serta mengelus punggung suaminya berkali-kali. Gendis kini tertegun pada lukisan cukup besar yang sedang Satya lukis, kanvas kosong yang Gendis tahu masih dalam keadaan kosong tadi malam, tapi kini sudah memperlihatkan keidahan laut biru di atas sana.

"Kamu begadang lagi ya?" tebakannya.

Satya menggenggam tangan Gendis yang berada di pundaknya. "Enggak.. jam dua sudah tidur."

"Sama saja itu!" Gendis kesal, tangannya ia tarik dari genggaman Satya. Tapi tangan Satya lebih dulu menahannya, bahkan kedua tangan kekar itu kini menggiring tubuh Gendis untuk duduk dalam pangkuannya.

"Kamu tahu, Dis?" Satya bertanya.

"Menurut saya seni paling rumit itu, mencintai manusia." katanya berceloteh. "Kalau banyak orang beranggapan bahwa cinta hanya sebuah rasa semata yang muncul karena adanya suatu pertemuan atau kenyamanan yang dirasakan dari kedua belah pihak. tapi bagi saya mencintai lebih dari premis-premis itu, karena kalau berbicara itu perlu seni, kalau berbahasa itu ada seninya. Itu artinya mencintai seseorang juga ada seninya Dis, ada banyak esensi yang perlu kita pelajarin."

Gendis mulai mencerna maksud perkataan Satya. "Berarti mencintai aku rumit?"

"Iya."

Mimik wajah Gendis seketika berubah cemberut. Tapi Satya justru tersenyum. "Tapi apa kamu gak berpikir kalau melukis juga rumit? Saya harus mencari ide dulu, renungkan apa yang ingin saya gambar, selipkan perasaan di setiap polehan kuasnya. dan apa saya meninggalkan kegiatan ini? enggak.. karena meskipun rumit, tapi saya suka. sama kayak seni mencintai kamu."

Kini Gendis tersenyum, binar merah di pipinya nampak kentara ketika Satya menatapnya dari jarak sedekat itu. Satya selalu bisa berbicara seakan-akan dirinya jauh lebih indah daripada laut biru yang ia ciptakan, seakan-akan lukisan bunga tulip merah di dinding sana kalah cantiknya dengan ia yang kini hanya berbalut daster.

"Satya?"

Yang dipanggil berdeham lembut.

"Setelah aku pikir, aku tahu aku mau kemana.."

"Kemana?"

"Aku mau kita naik sepeda ke pertengahan kota, melihat gedung-gedung tinggi yang baru saja di bangun. Kamu tahu kan?" Tanya Gendis semangat.

Satya berpikir sejenak, setelahnya mengangguk. "Nanti kita kesana ya.."

Gendis kegirangan, dipeluknya Aryasatya erat-erat.

¤¤¤¤¤

"Indah kan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Indah kan?.... sama seperti kamu."





HALO READERS!! LAMA TAK JUMPAA👋👋

WALAUPUN AKU NULIS CERITA INI KAYAK MAU GAK MAU, DAN UP NYA GAK ADA JADWAL. TAPI AKU BERHARAP BANGET BISA SELESAIN CERITA INI SAMPAI END!!
AKU RAGU TAPI AKU PENGENN, GIMANA SII😭😭

YAUDAH SEGITU DULU AJAA, BABAYY👋

SAMPAI JUMPA DI PART SELANJUTNYA

Lukisan Tanpa WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang