12. Pengakuan

134 24 276
                                    

Kalau kalian dapatin beberapa adegan yang menurut kalian kelihatan terpotong-potong atau adegan yang gak ada asal usulnya, kayak contoh ada part di mana Gendis muncul tiba-tiba, atau Satya yang muncul tiba-tiba. Itu tuh sengaja ya, karena di sini aku kisahkannya dari buku yang lagi Dito baca, bukan bener-bener ngulas lagi masa lalu mereka gitu pokoknya, okee sekiann...

Selamat bacaa🤎🤎🤎

○○》《○○

Maret, 2018

"Malam membekam semakin kuat, angin terus hadir seakan amukan masa bagi kami yang berciuman untuk pertama kalinya..."

Buku bersampul hitam refleks jatuh dari genggaman menimbulkan suara cukup keras karena berat dan ketebalannya. Dito mengatur napas, selagi matanya memperhatikan buku lusuh itu tergeletak di atas lantai. Senyumannya terbit kala membayangkan narasi terakhir yang baru saja dia baca. Benarkah eyangnya pernah melakukan hal itu bersama sang pelukis? Perutnya geli sendiri, Dito geleng-geleng kepala; menghalau pikiran tidak jelasnya.

Di raihnya buku itu bersama sobekan kertas yang menjadi pembatas. Dibukanya lagi buku itu, pada lembar berikutnya Dito dapati kalimat pertama diawali kata "Mencintaimu." Dito penasaran, hingga tulisan-tulisan tangan yang tercipta dari gerakan pulpen kembali menghanyutkan fantasinya pada dunia seorang Aryasatya.

☆☆☆☆

Februari, 1971

Dua hari yang lalu tepat ketika Gendis menginjak usia 20 tahun, ibu mengajaknya bicara empat mata di halaman rumah dalam keadaan gelap gulita kecuali bulan purnama yang berperan di atas sana juga lampu teplok berbahan bakar minyak yang di taruh di atas kursi di antara keduanya. Ihwal : kedatangan seorang lelaki bernama Dharma anak dari kerabat dekat bapaknya.

Tanpa Gendis saksikan langsung kedatangan mereka, tapi malam itu ibu menjelaskan niat kehadiran mereka serius tertuju pada dirinya. Bahwa seorang Dharma yang tidak begitu Gendis kenal bicara secara terang-terangan kalau ia berniat akan menimang dirinya. Bapak jelas belum menyetujui, karena persetujuan dari dirinya juga jadi alasan. Oleh karena itu, lewat ibu, bapak memintanya untuk memikirkan niat baik itu.

"Kan kamu sudah besar, sudah lulus juga. Gak bagus kalau kelamaan sendiri." ungkap ibu sangat hati-hati...

Alih-alih melihat wajah serius ibu, Gendis justru memperhatikan lampu teplok di sampingnya yang hampir meredup karena minyaknya yang mulai menyurut. Namun biar begitu, dia juga ingat selama satu bulan ini berapa banyak teman perempuannya yang sudah melangkah ke jenjang pernikahan. Juga Rumi yang Gendis tahu sudah di ikat oleh seorang lelaki pilihan bapaknya.

"Coba dipikirkan ya, Dis. Perempuan gak baik menunda-nunda." kata ibu malam itu.

Dua tangannya digenggam penuh kelembutan.

Malam itu kalau saja Gendis punya keberanian lebih, kalau saja Gendis tidak memikirkan banyak hal yang menguasai pikirannya. Ingin rasanya Gendis bicara, setidaknya ia ingin ibunya tahu. Kalau anak perempuannya saat ini sedang jatuh cinta.

Dan kalau seandainya ada yang bertanya, dia ingin siapa? Satya... maka jawabannya tertuju pada sang pelukis; Aryasatya.

Tapi tanpa ada keinginan untuk berkata begitu, perempuan itu justru berakhir dengan jawaban...

"Nanti Gendis pikirkan dulu ya, bu."

Dan kini ketika kilas kejadian itu kembali menghantui pikirannya, Gendis mulai menyesali jawabannya itu. Mungkin akan lebih baik ia terus terang dengan sang ibu, mungkin akan lebih baik kalau orang tuanya tahu menahu akan hubungannya dengan Satya. Sebentar... dia jadi bertanya-tanya, hubungan? Apa hubungan dia dengan Satya?

Lukisan Tanpa WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang