03. Introvert Dan Extrovert

153 36 215
                                    

~AUTHOR DOUBLE UP~

⚠️

Cerita ini 100% fiksi alias cuman karangan author aja. Sebenarnya awal aku dapat ide untuk nulis cerita ini karena terinspirasi dari suatu kisah yang kebetulan baru aku ketahuin belum lama ini. Tapi untuk penulisannya di wattpad, itu tetap 100% fiksi, alias banyak hiperbolanya. Termasuk museum yang aku ceritakan, itu sebetulnya gak benar-benar ada.
Terima kasih^^

📌

Biasakan vote lebih dulu sebelum membaca🤎

Pendapat aku sekarang : Dibaca sungguh-sungguh lebih baik daripada banyak komen😊 dan lagi cerita ini aku ciptakan lebih banyak narasi dibandingkan dialog atau interaksi antar tokoh, jadi kalau kelewat-lewat kalian gak akan paham sama alurnya.

Pendapat aku sekarang : Dibaca sungguh-sungguh lebih baik daripada banyak komen😊 dan lagi cerita ini aku ciptakan lebih banyak narasi dibandingkan dialog atau interaksi antar tokoh, jadi kalau kelewat-lewat kalian gak akan paham sama alurnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit semakin meredup matahari telah Kembali pada titik tenggelamnya, hingga kini yang tersisa hanya sisa-sisa sinarnya membias menemani setiap Langkah mereka. Belum lama ini keduanya turun dari bus mikrolet di daerah Bambu. Jalan kaki menjadi kesepakatan Bersama setelah sebelumnya mereka sempat beradu cekcok perihal Niko yang sudah Lelah dan ingin menaiki ojek dan Dito yang terus meyakinkan bahwa letak rumah eyangnya tidak begitu jauh dari pertigaan jalan besar sehingga jalan kaki juga tidak akan mengambil waktu lama.

“Jangan lah Dit kita naik ojek aja, paling sepuluh rebu berdua.”

“Deket kok rumahnya, lima menit juga sampe.”

“Naik ojek ya?”

“Ojek mahal. Ini Jakarta bukan Bogor.”

“Lo ini kerja siang malem, gajihnya di kemanain?”

“Nabung. Buat masa depan.”

Berakhir dengan hembusan napas berat dari Niko, dia pasrah saja meski saat ini Langkah kakinya di seret-seret dan seharian ini kakinya sudah tiga kali kram. Lebih dari sepuluh menit kaki mereka membawa keduanya menelusuri jejeran rumah-rumah bercampur super market, bengkel dan segala tempat lainnya. Iming-iming kata hanya lima menit dari Dito sebelumnya, sudah tidak ada lagi kenyataan akan fakta yang sebenarnya hanya dia kelabui. Hingga raut wajah Niko yang semula masam berubah menjadi logat tanda tanya, Ketika pijakan mereka berhenti pada sebuah rumah cukup besar yang di desain penuh kemewahan.

Niko berwah. “Ini rumah siapa Dit?”

“Rumah pak Rt.” Singkat Dito kelewat santai tanpa menoleh pun melirik.

“Loh kita mau ngapain ke rumah Rt?”

“Ya lo pikir tujuan kita kesini mau kemana? Ini rumah eyang gue!” Dito geram juga lama-lama, sebetulnya sejak tadi ada rasa ingin menggeplak mulutnya Niko yang sedari tadi terus mengoceh dan tidak berhenti bicara. Tapi sebelum melakukan itu, Dito lebih dulu ingat berkat siapa tugasnya tidak terlalu berat kalau bukan karena pertolongan Niko.

Lukisan Tanpa WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang