07. Rasa yang Tak Sembarang

142 29 220
                                    

Sebab kau terlalu indah
Dari sekedar kata
Dunia berhenti sejenak
Menikmati indahmu

~Lagu di atas~

📌

Biasakan vote lebih dulu sebelum membaca

°°°♧♧°°°

Hujan deras sempat mengguyur kota beberapa jam yang lalu, sangat deras sampai pada jendela kamarnya tadi Gendis bisa menuliskan satu nama di sana karena efek embunnya. Satu nama yang sejak malam tadi terus mengusik pikirannya. Dan kini ketika hujan perlahan-lahan mereda, mega mendung masih berselimut kelabu tanpa menghadirkan cerah kembali; sisa-sisa dari gerimisnya masih menghujani atap rumah walau tak sederas sebelumnya.

Di depan cermin Gendis tersenyum pada bayangannya sendiri yang sudah cantik, dia menata rambut panjangnya selama beberapa saat, lalu memakaikan bandana merah muda di sana; nampak sempurna untuk menemani cuaca yang masih mendung. Terakhir dia mencangklong tas kecilnya, lalu berjalan keluar rumah. Udara terlalu menyejukan untuk dia sia-siakan.

Gendis selalu menyukai suasana sehabis hujan. Aromanya serta udara sehabis hujan selalu ada tahapan pada suhu yang kian menghangat kembali-- dia merasa suasana sehabis hujan selalu menenangkan. Begitu membuka pintu, Gendis mendapati lima anak kecil berseru ria sembari menendang-nendang bola yang dipenuhi lumpur. Teriakan-teriakan serta keras tawanya mereka menjadi irama tersendiri dilengkapi kicau burung yang mengisi indra pendengarannya.

Dia berangkat dengan senyum merekah. Lupa dengan pemikiran sebelumnya yang sempat berpendapat bahwa warna bajunya yang hijau tua kurang cocok dengan bandana merah mudanya. Pikirannya terbang mengikuti angin, Gendis jadi lupa kapan terakhir kalinya ia berjalan seorang diri seperti sekarang. Mungkin sudah cukup lama, karena biasanya Rumi atau rahayu adiknya selalu menemani.

☆☆☆☆

Sampainya ia di tempat yang dituju, Gendis tak bersua melihat bagaimana percekcokan di depan sana. Posisi Satya yang berdiri sangat tenang padahal kerahnya dicekram kuat oleh seorang bapak gemuk dan berkumis lebat di hadapannya. Tidak ada sorot cemas, takut apalagi kekuatan ingin melawan; sampai Gendis keheranan. Ada apa dengan pria itu? Dan apa yang tengah mereka perdebatkan?

"Satya!" Gendis memberanikan diri memanggil namanya dengan intonasi tinggi; niatnya sekaligus menyadarkan sang bapak berkumis yang masih disulut emosi.

Satya menoleh, cukup terkejut mendapati keberadaannya yang begitu tiba-tiba. Sampai entah dapat keberanian dari mana, Satya melepas kasar cengkraman tangan si bapak berkumis dari kerah pakaiannya. Bapak berkumis tak terima lalu melayangkan satu tamparan cukup keras, spontan Gendis terjingkat dan menutup mulut.

Mata mereka sempat bertemu dan entah bagaimana bisa, setelah melihat sepasang mata itu emosi Satya meluap lebih besar. Tangannya melayang hendak memberi pelajaran bapak ini kalau seandainya Gendis tidak memanggil namanya sekali lagi.

"Satya!" pria itu menarik napas frustasi, kepalan tangannya kembali turun. Napasnya dia atur sebaik mungkin.

Gendis yang merasa semakin penasaran dengan masalahnya memberanikan diri untuk melangkah maju, mengikis jarak pada eksistensi keduanya. Matanya menilik keheranan sekaligus ada gambaran tidak suka pada bapak berkumis yang justru tak berkutip sejak kedatangannya.

"Kau bilang pada temanmu, kalau tidak bisa bayar lebih baik pergi!!" ancam bapak berkumis lebat, menekan setiap bicaranya kemudian memilih pergi dari sana.

Satya melihat Gendis yang masih tak sadarkan sejak menit yang lalu. Tangannya menyugar poninya yang memanjang dengan helaan napas tak beraturan. Gendis semakin tak mengerti.

Lukisan Tanpa WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang