0.3.1 Jenguklah Jendela Kekasihku

206 32 9
                                    

Sebenarnya Aryo bisa saja lari. Kabur dari rumah hingga selamanya. Tak pedulikan titah sang abang dan menjauh dari jarak pandang Damar ataupun anggota keluarganya yang lain. Benar-benar menghilang bak ditelan bumi. Menyamarkan identitasnya dan hidup sebagai Aryo yang pura-pura terlahir bukan dari keluarga Keraton.

Sayangnya semua hal yang ada di pikiran Aryo memang cuma ada dalam kepala.

Alih-alih melakukan semua inginnya, di sinilah Aryo saat ini berada. Berjalan khidmat menghaturkan doa sambil menuntun motornya ke arah pos satpam. Menyiapkan diri dari berbagai kemungkinan yang barangkali terjadi. Lalu menyapa, "Pak!" ke arah penjaga rumah yang kemudian membelalakan matanya penuh kejut melihat kedatangan si muda.

"RAD-"

Hampir berteriak menyuarakan rasa senang sebelum Aryo membungkamnya dengan menempelkan telunjuk ke depan bibir dan bilang, "Pak, tenang, Aryo mau beri kejutan pada ibu."

Yang dengan mudah dituruti. Tanpa lebih banyak tanya dengan anggukan bersemangat dari yang lebih tua.

Tapi tidak.

Aryo berbohong tentang hendak memberi ibunya kejutan. Pemuda itu cuma menghindari kebisingan, mencegah teriakan yang barangkali bakal menimbulkan kehebohan.

Si bungsu Gusti Raden cuma mau datang dengan tenang.

Pun sebenarnya juga, kalau boleh berkata, dirinya jadi agak takut bertemu Damar. Setelah kejadian tadi siang, pandangannya terhadap sang abang tak lagi sama. Berubah mengecewakan. Ada cacat yang dilihat oleh matanya, yang tak bisa Aryo enyahkan dan terus mengganggu sepanjang sisa siang.

Damar, tak bisa lagi Aryo andalkan dan percayakan.

"Raden Aryo ke mana saja? Sudah berapa bulan tidak pulang? Kangjeng Ratu sampai sakit memikirkan Raden," satpam bertanya dengan sumringah. Membuka sedikit gerbang supaya Aryo bisa masuk ke pelataran. Pria paruh baya itu juga rasakan hatinya berdebar senang. Menyambut pemuda yang sudah berbulan-bulan tak dia sambut dengan sapaan.

Mendengarnya Aryo cuma bisa tersenyum tolol. Menuntun motornya sembari mengangguk penuh terima kasih pada penjaga rumahnya yang punya kumis tebal.

"Berpetualang, Pak. Mumpung masih ada waktu."

Buat sang penjaga geleng-geleng kepala, "Memang anak muda," mewajarkan, memberi pemakluman. "Ada yang bisa dibantu lagi ndak, Den?"

Tidak.

Aryo tidak mau merepotkan. Sebab tak akan lama dia berada di rumah otangtuanya. Tujuan Aryo datang juga cuma ingin lihat keadaan ibu secara diam-diam. Tigapuluh menit barangkali cukup baginya. Setelah itu si bungsu akan pergi lagi, tanpa perlu repot-repot berkabar pada romo juga ketiga saudaranya yang lain. Cuma mau menyetor salam, sebelum menghilang tanpa pernah kembali.

"Raden Damar dan Raden Jatmiko baru saja datang," hm, informasi yang tak mau Aryo dengar, "Kalau Raden Handaru hari ini ndak masuk sekolah." Kalau yang ini jelas harus dicari tahu.

"Pak titip motor di sini ya," jadi mari abaikan saja cerita tentang ketiga saudaranya.

Tanpa persetujuan dari lawan bicara, Aryo berlari pelan. Menuju pendopo yang siang ini tak berpenghuni. Mengabaikan pekikan perintah pelan dari penjaga rumah. Terus melaju tanpa menoleh atau sekadar memastikan keadaan.

"Bawa saja ke dalam, Den!"

Tidak mau.

Aryo tak berniat menetap lebih lama setelah ia memastikan keadaan ibunya.

Maka tidak ia pedulikan apa-apa. Terus berlari memutari pendopo, setelahnya melewati pringgitan, terus melaju menuju omah dalem; bangunan lapis ketiga. Yang fungsinya untuk menaungi seluruh aktivitas kehidupan. Nama lainnya rumah, tempat di mana keluarganya tinggal dan melakukan seluruh kegiatan seperti tidur dan lainnya.

Buana Bumantara | J-Line Treasure Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang