[Karena di Surga Tiada Kita 'Kan Perlu Asmara]

109 25 0
                                    

Aryo menyipitkan netra demi memastikan siapa gerangan yang sedang telungkup di tengah kekacauan. Berkaos hitam dan rambut dengan surai-surai mencuat tajam. Tidak ada yang sudi menolong si muda karena orang-orang yang melangkah di atasnya juga sedang menyelamatkan diri. Aryo menelan ludah, rasa sesak menggerogoti lehernya tanpa diminta. 

Terputar lagi kalimat Jatmiko beberapa hari sebelum ini, katanya, "Buang saja abunya. Buang saja. Buang abunya." 

Tidak. 

Mustahil yang di sana itu Jatmiko. 

Aryo menelan ludahnya sesak. Dia yakin itu bukan sang saudara. Mustahil itu anak Bendara Tyas. Tapi sial dirasa, kaki si muda mengarahkannya untuk mendekati dia yang hampir merenggang nyawa. 

Laki-laki itu tidak mengenakan almamater, segaris darah menjejak di mata. 

"MIKO!" 

Tapi memang nasib senang sekali bercanda. 

Maka tanpa banyak pertimbangan atau pemikiran, Aryo dekati si muda Raden Mas dan berkata, "Maaf," lantas mengangkat tubuh ringkih dan meletakkan tangan Jatmiko ke bahunya. Berlari tertatih-tatih dengan dua kakinya untuk dua beban manusia. 

Menghembuskan napas. 

Aryo harus membawa Jatmiko ke rumah sakit. 

Persetan dengan demo dan segala keadilan omong kosong yang mustahil dia dapatkan di negeri ini, saudaranya sekarat. 

Aryo terlalu sibuk menyelamatkan Jatmiko sampai tidak sadar kalau dirinya menangis. Membopong si muda menuju titik aman. Lalu setibanya nanti dia di sana, Aryo akan mengemis pada siapa saja. 

"Aku bersumpah, Romo. Tidak akan aku maafkan panjenengan kalau sampai Jatmiko kenapa-napa," kutuk Aryo terang-terangan. Hampir berteriak dan berharap kalau kekacauan ini bakal berakhir kalau dia menjerit-jerit. 

Seperti pemeran utama dalam film laga. 

Andai saja suara Aryo mengandung kekuatan semacam itu. 

"Yo!" Aryo buru-buru menoleh saat pundaknya ditepuk dengan begitu kencang, refleks si pelaku yang mungkin juga sedang terburu-buru menyelamatkan diri. "Jatmiko kenapa?" Hanif, entah datang dari mana. Berinisiatif menyokong sebelah tubuh Jatmiko. "Kalau kamu butuh bantuan berhenti saja di sini, ke rumah sakit kalian berdua."

Aryo tidak sanggup berbicara. Tubuhnya melemah karena melihat keadaan sang saudara. Darah Jatmiko menetes ke bahunya. 

Tembakan dan ledakan sudah berhenti. Entah sejak kapan. Tersisa asap mengepul di banyak tempat. O

"Siapa saja yang luka, Bang?" 

"Sejauh ini aman. Gue baru nemuin lo berdua."

Aryo mengangguk bersyukur. Berjalan menuju titik aman tempat para mahasiswa berkumpul. Mereka memutuskan untuk mencari waktu yang aman untuk kembali merongrong gedung pemerintahan. 

Melihat Aryo, Hanif, dan Jatmiko tertatih-tatih dengan keadaan super kacau, seorang gadis yang punya dua almamater dan beberapa pemuda mendekat. Mengambil alih tubuh terluka Jatmiko dan membawanya menepi.

"Tolong bawa ke rumah sakit," pinta Aryo lesu. Dia berlutut, terduduk lemas. Keningnya berkeringat. 

"Lo juga, Yo." Hanif menyarankan, namun Aryo menanggap dengan gelengan. 

"Aku tidak apa-apa. Tapi tolong bawa Jatmiko ke rumah sakit dan tolong hubungi Mas Damar. Kakaku bergabung ke grup jadi tolong cari akunnya di sana. Terima kasih."

Si gadis mengangguk. Mengekor di belakang dua orang pemuda yang memboyong Jatmiko di bahu mereka. 

Melihat itu, Aryo bernapas keras. Kepalanya pening mengkhawatirkan keadaan sang saudara. Netranya memburam karena air mata. Rasanya Aryo ingin menangis saja. Atau masuk menerobos ke kantor sang ayah untuk membogem wajah romonya kencang-kencang sampai mematahkan hidung yang beliau turunkan padanya. 

Tapi mustahil. 

Aryo pasti tak akan diizinkan oleh aparat yang menjaga ketat. Bisa-bisa, dia ikutan menyusul Jatmiko. Keduanya bakal sekarat masal. Lalu berlomba-lomba siapa yang akan menyusul Handaru lebih dulu. 

Tidak.

Kasihan Mas Damar. 

Tapi ngomong-ngomong, ide tentang kematian tidak buruk juga. 

"ARGH!"

Menyadari betapa kacaunya keadaan yang lebih muda, Hanif menepuk pundak Aryo beberapa kali. Membuat si bungsu Raden Mas dengan segera menoleh. Namun alih-alih memberikan kalimat penenangan dan janji kalau semuanya akan baik-baik saja, Hanif hanya mengangguk tanpa berhenti mengelus bahunya. 

***

Buana Bumantara | J-Line Treasure Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang