2.3 Tiga Anak Kecil

144 31 4
                                    

Sebenarnya, masih terlalu pagi bagi Damar untuk bertamu. Tapi berita yang barusan disiarkan dan tersebar di media masa buat si sulung jadi tak tenang dan memutuskan buat datang ke rumah kontrakan Aryo hanya untuk disambut oleh Jatmiko yang sudah lebih dulu hadir. Buat Damar langsung berucap syukur sebab mendapati Jatmiko dalam keadaan baik-baik saja. Soalnya semalam Damar tidak mencium aroma kehadiran si adik di Keraton. Pemuda itu sedang duduk di ruang tamu, dengan Aryo dan Handaru di hadapan. Sejenak mengalihkan pandang, mendapati sang abang sulung berdiri di ambang pintu yang terbuka. 

"Hallo," sapa Damar kikuk. Tiba-tiba bingung harus melakukan karena tiba-tiba bertamu tanpa tujuan. Agak malu baginya kalau langsung berdiskusi tentang kebijakan yang baru diberitakan karena di awal, pemuda itu selalu menentang rencana Aryo kendati si muda sudah memohon supaya dibiarkan kabur dari rumah saja. Tak perlu bagi Damar terlibat, cukup tutup mulut dan biarkan Aryo saja yang bekerja. Lalu tiba-tiba, dalam satu petang yang singkat, Damar langsung ubah pikirannya. 

"Sini, Mas. Jangan berdiri terus," ajak Aryo terbuka. Punya pikiran yang berbeda dengan sang abang. Melambaikan tangannya kepada Damar yang kemudian menyunggingkan senyum sembari berjalan dekati ketiga adiknya yang dua di antaranya berpenampilan ala kadar; hidung merah, rambut berantakan, dan mata lelah karena baru bangun tidur. Wajah Handaru yang memar jadi membiru, ada bekas obat tetes yang mengering. Pemuda itu satu-satunya yang sudah rapi dalam balutan seragam. "Mas Damar datang karena kebijakan barunya 'kan?"

Terbaca. 

"Iya."

"Mas Jatmiko juga punya alasan sama."

Ah iya, nanti tolong ingatkan Damar untuk bertanya pada Aryo dan Jatmiko tentang apa yang telah terjadi hingga keduanya sudah akrab setelah dua tahun berperang dingin begini. 

"Yang lain ke mana?" 

Damar tahu sebagian perkara tentang adiknya. Kendati Aryo menghilang selama 5 bulan dalam pelarian, Damar tetap tak melepaskan pengawasan. Dia tahu banyak hal, meski kalau menemui adiknya tetap mustahil dilakukan. Dia cuma tahu sedikit informasi; di mana Aryo tinggal, siapa yang dekat dengannya, teman kampusnya, dan lainnya. 

"Kafka rapat BEM dadakan. Kalau Keenan dan Josiah belum keluar kamar." 

Mengangguk paham, Damar sudah siap mendengar diskusi ketiga adiknya setelah melempar basa-basi dan kepedulian. Entah sudah sampai sejauh mana, tapi sepertinya Damar tertinggal banyak di belakang.

"Panjenengan akan turun, Yo?" 

Alih-alih menjawab tanya yang terlempar, Aryo malah tatap Jatmiko. Entah apa yang keduanya tukar lewat pandangan netra. Sedikit kening mengerut dan mata tak berkedip yang kelihatan serius. 

Dua tahun tak berbicara. 

Tapi keduanya tetap saudara yang menghabiskan banyak masa bersama. 

"Diperbolehkan, Mas?" 

Ah.

Ternyata begitu. 

"Kalau Mas Damar yang melarang, Mas Aryo pasti bakal mendengar."

Mendengar pengakuan si bungsu, Aryo secara refleks sikut perut adiknya pelan. Mengerutkan kening protes karena tutur Handaru jelas melukai harga dirinya. Aryo si begundal yang tak pernah mengalah, suka melanggar aturan dan perintah Keraton, tidak takut pada hukuman, ternyata tak punya nyali jika disuruh berhadapan dengan si sulung. Bikin hati Damar jadi tergelitik karena rasa haru sebab si berandal masih menaruh hormat padanya. Padahal ayah mereka saja tak pernah didengarnya. 

"Apa yang bisa aku bantu, Yo?" tanya yang lebih tua menawarkan. Buat Aryo yang menunduk dengan wajah merah langsung mendangak tanpa banyak pertimbangan. Refleks yang spontan diserapahinya dalam hati. Kalau begini, Damar jelas melihat pipi meronanya. 

Buana Bumantara | J-Line Treasure Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang