Damar ada di kamar waktu sang bunda menemuinya. Masuk ke dalam ruangan setelah mengetuk pintu dengan lembut disertai izin berupa, "Cah Bagus, Ibu diizinkan masuk ya?" Mendatangi putra sulungnya yang menyambut dia dengan senyuman manis dan sapaan selamat datang terbuka. Dibalas dengan elusan di rahang oleh yang lebih tua pada si muda.
Hangat dan begitu menenangkan. Membuat Damar merasa seperti dia tengah berpulang. Kehangatan ibu adalah sesuatu yang tak pernah berubah bahkan sejak pertama kali Damar punya kemampuan mengingat. Asa sederhana yang telah buat Damar bertahan sampai titik di mana ia berada sekarang.
"Cah Bagus-nya Ibu dari mana?" tanya Mira.
Bawa tenang untuk selimuti hati gusar Damar. Setelah seharian dihadapkan dengan Handaru dan permasalahan yang mengekori buntut si bungsu. Di penghujung hari yang panjang, setidaknya ada satu tempat di mana ia bisa merasa nyaman.
"Mengantar Padma, Ibu." Barangkali, Damar juga diizinkan untuk sedikit mengadu. Menyatakan semua hal mengganggu.
Mendengar sebuah nama menggaung dari bibir sang putra berhasil ciptakan segaris senyum iba. Buat Damar yang awalnya bersemangat hendak bercerita jadi sedikit-banyak merasa enggan untuk menyampaikan berita. Padahal, Damar inginnya, tiap pemuda itu punya sedikit wacana menyenangkan, ibu jadi orang pertama yang dia wartakan. Tapi melihat respon yang diberikan, Damar jadi bulat untuk mengurungkan.
Malang, pikir yang tua.
Wanita itu sudah hidup lama, 20 tahun dia habiskan untuk mengenal anak-anaknya. Maka harusnya, mendengar sebuah identitas menguar dari bibir si sulung, sudah mampu buat sang mama menerka. Kalau Padma jelas bukan presensi biasa. Gadis itu istimewa, dan Damar sedang mengenalkan pujaannya pada cinta pertama dia.
"Temannya panjenengan, Cah Bagus?"
Tapi sayangnya, Mira tak punya pilihan selain berpura-pura tidak mengerti. Jadi untuk kebanyak kali dalam hidupnya, si ibu akan bersikap egois untuk sebuah kepentingan yang dia tujukan untuk banyak orang.
Mendapati pertanyaan retoris yang berbeda dari tanggapan yang diharapnya, Damar tersenyum kecut. Mengerti, kalau ibunya mau mendengar sebuah kesaksian. Biar dirinya tidak kecewa, juga Damar yang aman dari amukan kepala keluarga.
Tapi untuk kali ini, biarkan Damar bersikap naif, "Kalau menjadi lebih dari teman boleh, Ibu?"
Hati Mira tercubit. Tak tega karena lagi-lagi harus mematah sebuah angan sang putra yang seumur hidupnya cuma didedikasikan untuk mengalah. Kerongkongannya tertohok sesak, putus asa menggelayut karena tak mampu berbuat apa-apa untuk kabulkan pinta si muda.
"Boleh, Le," jawabnya. Setelah beberapa lama terdiam karena tak langsung menjawab restu yang diminta.
Mira tersenyum sekenananya, menangkup rahang sang putra dengan telapak yang membentuk bunga. Menyuruh Damar mendangak demi tatap matanya. Mengelus pipi Damar yang kelewat paham, kalau sebentar lagi, dirinya akan kembali menjadi sebuah mesin pengabul permohonan.
"Boleh, Bu?!"
Mata Damar membelalak. Terkaannya melenceng, dia pikir ibunya akan menolak mentah-mentah apa yang diimpikan. Namun setelah mendengar sebuah jawab yang berbeda dari mulut mama, ada asa yang tumbuh di dada. Berimbas pada jantung Damar yang berdebar jadi lebih cepat. Harapannya melambung, agak tinggi sampai-sampai Damar khawatir kalau asa yang membumbung terbang sampai menabrak bintang yang menggantung di ujung langit.
Tidak percaya dia dibuatnya. Baginya, kejadian macam ini sudah seperti mukzizat untuk Damar kalau apa yang dipintanya disetujui dengan tangan terbuka.
Belum.
Sampai sebuah kalimat lagi-lagi menghatamnya untuk kembali ke bumi, "Tapi kalau dia bersedia menjadi Garwa Ampeyan*, maka ibu restui kalian." Yang selanjutnya menenggelamkan Damar dalam lautan tanpa belas kasihan. Menghancurkannya hingga jadi serpihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buana Bumantara | J-Line Treasure
FanfictionDi dunia ini, Damar cuma punya tiga hal; rencana manipulatif Jatmiko, keberanian Aryo, dan pengetahuan semberono Handaru. Bagi Damar, hidup boleh saja mempermainkan dia, menimpanya dengan ribuan bencana, atau membebani si muda dengan lebih banyak pe...