[Di Mana Segala Berujung di Tanah Mati]

275 26 29
                                    

Jam 8 malam sudah lewat sejak beberapa menit lalu, namun sayangnya, Aryo masih belum memberi kabar kendati kepulangannya telah dinanti oleh mereka yang sabar menunggu. 

Padahal sejak pukul 5, sudah tersiar sebuah warta yang menyatakan kalau pemerintahan Yogya telah menandatangani petisi yang berisi penyetujuan penolakkan atas peraturan perundang-undangan baru dan berjanji akan berada di pihak rakyat juga mahasiswa. Damar dan Jatmiko juga dengar kalau para pendemo memutuskan untuk kembali ke titik awal untuk pulang, melalui kabar dari Zulfikar. Tapi entah berapa lama waktu yang dibutuhkan anak-anak itu untuk tiba hingga sampai kini Aryo masih belum juga menghubungi atau kembali.

Dalam sebuah kamar rawat sarat aroma pewangi lantai, Damar dan Jatmiko ikut menanti dalam gusar; secarik kabar, dari Aryo yang masih nihil didengar.  

Setelah terdiam lama, akhirnya Damar tegas berkata, "Lima menit lagi." Menarik perhatian Jatmiko saat pemuda itu juga sedang sibuk mencari informasi mengenai Aryo lewat kenalan-kenalannya, "Kalau masih belum ada jawaban, akan aku datangi dia yang bertanggungjawab."

"Beresiko, Mas." 

Damar paham. Tapi kekhawatiran si sulung telah benar-benar mampu mencekik leher. Menghambat jalurnya pernapasan dan membuat semuanya jadi serba kacau. Hingga Damar jadi sulit bergerak demi memantapkan langkah. Menimang-nimang, apa yang harus dia lakukan? 

"Aku tidak bisa membuat ibu menjadi lebih cemas. Daritadi beliau menelpon, berharap berita baik. Tapi aku masih belum berani mengangkat dan mewartakan janji kosong." Jatmiko mengerti betul bagaimana perasaan Mira. Si wanita welas asih yang selalu bertingkah lembut. 

Meski tak mengaku atau secara terang-terangan menutut, tapi Jatmiko yakin kalau Mira pasti selalu memikirkan keadaan anak-anaknya di atas segala kesibukan, kendati dia tak punya banyak suara untuk memberi pertimbangan. Aryo memang punya jiwa bebas dan sulit diatur, namun dia tetaplah putra dari seorang ibu. 

"Angkat saja, Mas. Katakan sebenar-benarnya." Enteng sekali Jatmiko berkata. Seakan semuanya mudah saja dilakukan. "Kangjeng Ratu harus tahu bagaimana kenyataannya. Meski semua orang berharap segalanya berjalan baik dan lancar, tapi kita tidak boleh menutup diri akan kemungkinan paling buruk dari semua pilihan." Tanpa sadar, ponsel dalam kepalan Damar lebih erat ia genggam.

Kening Damar mengerut dalam. Amarah menguasai kepalanya dalam sejentik rasa. Buku-buku jarinya memutih karena genggamannya berangsur mengerat. Damar berdiri dalam dia, tak lakukan apa-apa kecuali memperhatikan tubuh terkulai Jatmiko di atas ranjang. Rahangnya menggeletak, angkara menggelegak. 

"Kamu berharap adikku terluka?" Kemarahan terlalu kentara dalam nada suaranya. 

Baru kali ini Jatmiko dapati emosi melingkupi Damar yang biasanya terselimuti ketenangan. Dalam hatinya Jatmiko takut setengah mati. Menciut karena merasa begitu kecil di hadapan Damar yang selalu punya aura agung. Namun alih-alih diam dan tutup mulut sebab tak ingin mengakibatkan lebih banyak masalah, Jatmiko malah tersenyum teduh ke arah abangnya. 

"Tidak ada yang berharap siapapun terluka, Mas. Ini kegiatan yang penuh resiko, kita tidak boleh bersikap naif dan berlagak seperti semua hal akan berakhir menyenangkan." Suara Jatmiko mengalun lembut, menyapa rungu Damar yang awalnya menuli karena dipenuhi kemarahan. Didengingi angkara dan emosi membabi buta.

Tapi setelah Jatmiko mengatupkan bibir, beribu pemikiran membanjiri kepala Damar akan ratusan rasionalitas. Apa yang dikatakan lawan bicaranya benar. Damar harus mengakui itu. Tapi baginya, ucapan Jatmiko tak bisa serta-merta dia telan dengan sikap legawa. Ada ketidakterimaan.

Sebab kepala Damar sudah keburu terdoktrin pepatah tua yang menyatakan kalau, "Ucapan adalah doa."

"Aku hanya terlalu cemas."

Buana Bumantara | J-Line Treasure Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang