[Asmara Cuma Lahir di Bumi]

131 26 5
                                    

Baru beberapa hari meninggalkan bangunan ini, Damar sudah harus datang lagi. Kembali meneguk aroma pembersih lantai bercampur obat yang bikin getir. Koridor lengang beralas keramik putih bersih balik mengatarkan Damar menuju adiknya yang terbaring penuh luka. 

"Jatmiko," lirihnya tertahan. Sesak merambati leher Damar dalam rasa takut ditinggalkan. Doa lagi-lagi dipanjatkan, sepanjang langkahnya menuju ruangan rawat.

Damar bukan seorang hamba yang taat, tapi untuk kali ini, pinta tak henti dia hanturkan pada Sang Pencipta. 

Kilas balik tubuh Handaru kembali terputar di kepala. Damar masih mengingat tiap detilnya. Bagaimana EKG mencetak denyut jantung sang saudara. Teriakan, jeritan, juga tangisan meraung-raung mewarna kepergian si yang paling muda.

Menggelengkan kepala kencang-kencang, Damar menolak untuk mengenang.

Dia pernah dengar, pikiran baik akan membawa hasil yang sama baik. 

Maka untuk sekarang, biar Damar bayangkan hal indah. 

Pasti menyenangkan bisa hidup sampai tua dengan sisa saudaranya yang lain. Duduk di pendapa sembari bercerita tentang masa-masa yang telah lalu. Bersama cucu kalau kedua adiknya memutuskan untuk punya keluarga. 

Jika sampai masa itu tiba, Damar berjanji mereka sudah harus mampu menyebut nama Handaru tanpa senyum kecut merangkak di wajah. Alih-alih demikian, ketiganya akan mengucap nama adik bungsu mereka dengan kurva manis terukir di muka. Memakna keikhlasan. Tidak dipusingkan oleh kehidupan yang cuma sebentar. 

Damar terkekeh penuh mimpi. Menelan ludah yang rasanya seperti mengunyah kerikil. 

Keras. 

Rahangnya bergemeletak digerus khawatir. 

Sial.

Sulit sekali mempertahankan pikiran baik kalau yang terjadi sesungguhnya adalah sang adik yang sekarat karena terinjak-injak.

"Fiuh~" Damar memejam mata. Takut benar-benar menggerogoti jiwa dan akal sehatnya. Bayangan Handaru lagi-lagi mampir untuk sekadar menyapa. Hampir-hampir buat si sulung pingsan dan ambruk saat kenop pintu tepat digenggam telapaknya. 

Bagaimana kalau keadaan Jatmiko lebih buruk dari apa yang otaknya bisa kira? 

Menekannya perlahan, Damar masih tak membuka mata. Kepalanya memutar akal, mencari kalimat yang bisa dia wartakan pada ibu dan bendara. 

"Hai, Mas," sapa seseorang begitu ramah dari dalam ruangan. Melambaikan tangan dengan punggung bersandar santai, "Aku hidup, Mas Damar. Sepertinya akhirat menolak untuk menampung pendosa seperti aku."

 *** 

Buana Bumantara | J-Line Treasure Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang