0.1.1 Berlayarlah Sambil Memandang Harumnya Cahaya

288 37 2
                                    

Pencarian Aryo jelas gagal total. Ada yang lebih membutuhkan Damar ketimbang ibu yang sudah hampir terbiasa tanpa kehadiran putra bungsunya. Sekarang yang dibicarakan sedang duduk setelah menjauh dari keramaian di depan penginapan murahan menunggu Damar yang tadi izin hendak membeli air setelah meminjamkannya jaket yang pemuda itu kenakan.

Jaketnya beraroma segar, seperti wewangian cendana bercampur kayu manis dan bunga-bungaan yang selalu digunakan dalam ritual Jawa. Mengenakannya buat dia seperti berada di dalam ruangan tertutup dengan lampu remang yang menenangkan. Rasanya nyaman; membawa aman. Apalagi bagi si dara yang pikirnya sedang berantakan.

Wajah dia bengkak, matanya sembab dan pakaiannya kacau. Lengannya memar. Rambutnya kusut karena angin malam.

Keadaan dia malam ini tak layak dilihat.

"Hh-" menghela pelan. Kilasan kejadian tadi lagi-lagi undang air mata untuk jatuhi pipinya.

Gadis itu alihkan pandang kemudian, ke arah Damar yang berlari kecil ke arah dia. Membawa satu kantong plastik berisi botol air dengan berbagai perisa. Menghampiri si dara yang sabar menunggu. Menyambutnya dengan secuil senyum manis tanda terima kasih yang belum sempat dihaturkan.

"Mau rasa apa?" tawar Damar, tepat ketika pemuda itu sampai ke hadapan sang lawan. Mengubek kantong plastik sembari menunggu jawaban.

"Air putih saja," jawabnya. Lembut, menyetarai irama Damar berbicara. Nada halus dengan tutur yang hangat.

Menyodorkan apa yang diminta, Damar letakan sisanya di sisi si gadis, menyusul dirinya yang ikutan duduk dan berkata, "Namaku Damar."

"Padma."

"Cantik."

Pujian sederhana, murni Damar katakan karena kekaguman. Pun sepertinya Padma berpikir sama, sehingga ia membalasnya dengan sukacita, menanggap, "Terima kasih."

Setelahnya hening meraja. Menguasai atmosfir antara Damar dan Padma. Di sekitar mereka, kesunyian berbisik paling kencang. Mengalahi sorai juga suara mobil yang berlomba di kejauhan. Damar tidak berani lebih banyak berbicara, juga Padma yang masih tak berniat membuka kata. Ketakutan masih membayangi, juga kecurigaan atas kebaikan Damar kendati pemuda itu telah menolongnya.

Kejadian tadi, setidaknya menyisakan sedikit kewaspadaan. Juga kehatian-hatian pada Padma yang bersumpah tak akan datang ke tempat ini untuk kedua kali. Biar malam ini jadi pelajaran buatnya; kalau tidak semua saran dan ajakan teman harus dia turuti dengan tangan terbuka.

Padma harus lebih pintar lagi menyaring kawan.

Meski rasanya takut sekali untuk membahas kejadian yang barusan menimpa, Padma tetap harus sampaikan rasa terima kasih dia terhadap pemuda di sisinya.

Yang sabar menunggu dia tanpa banyak kata.

"Makasih ya, Mas Damar. Kalau nggak ada lo, entah gue bakal jadi apa. Pasti hidup gue bakal berantakan banget, masa depan gue hancur," akunya. Bergidik dalam pejaman mata penuh teror, "Salah gue juga sih terlalu ramah ke dia. Gue kira dia orang baik."

Tersenyum kecut. Menatap iba, Damar tak keberatan kalau Padma cuma mau diam. Mengingat apalagi membahas perkara yang menimpa sang dara jelas membutuhkan ribuan keberanian dan tekad. Makanya Damar tak keberatan kalau Padma tak berkata apa-apa padanya.

"Bukan salahmu, Padma," balasnya, menatap Padma yang juga memandangnya setelah tersentak dan mendangak dari kegiatannya memperhatikan keramik yang dia pijak. Melihat respon lawan bicaranya, Damar ikutan tersentak. Tersenyum kikuk dan berkata, "Anu maaf, harusnya aku tidak menanggapi ucapan kamu. Maaf, mulai sekarang aku janji cuma bakal jadi pendengar. Itupun kalau kamu tidak keberatan buat bercerita."

Logat Jawanya melekat kuat pada lidah si adam, buat Padma jadi tidak enak hati telah mengalamatkan sapaan asalnya pada pemuda lembut di hadapan dia. Sebenarnya dia juga terkejut, tak menyangka kalau Damar akan berkata demikian. Gadis itu pikir, pemuda di depannya barangkali bakal mewantinya untuk tidak sembarangan memakai busana.

Seperti yang tadi telah dituturkan.

"Jangan segan bersikap ramah ya, Nona. Kejadian tadi jelas bukan salahmu, benar, peristiwa itu murni karena laki-laki memang brengsek."

Mendengarnya, Padma jadi ingin menangis saja. Dia tidak disalahkan atas kejadian ceroboh karena kelalaiannya. Padma juga tak menyangka kejadian tadi bakal menimpanya. Dia pikir dirinya akan aman bersama sang teman, yang malah meninggalkan dia semenjak mereka sampai. Salah Padma, Padma bersalah atas apapun yang menimpa dirinya sendiri. Karena naif, karena Padma tidak berhati-hati, karena Padma datang dengan pakaian terbuka.

Salahnya. Kejadian yang datang padanya jelas karena kesalahannya sendiri.

Tapi kenapa Damar malah berkata sebaliknya?

"Maaf ya, Padma, kalau dunia ini bukan tempat yang aman bagi para perempuan."

Juga meminta maaf atas kesalahan yang tidak pernah Damar lakukan.

Kalau begini, yang bisa Padma lakukan cuma menangis. Kepalanya terasa penuh sekali. Pikirnya kacau. Dia mengasihani dirinya sendiri; karena kebaikan sederhana pemuda yang dibesarkan dengan penuh cinta; juga karena si dara terasa kotor dan menyedihkan. Padma menangis karena ia tak berdaya bahkan untuk melindungi dirinya sendiri.

Sengguknya makin kencang.

Sial.

Malam ini, hampir saja jiwanya mati. Terbunuh karena laki-laki tak bisa jaga diri. Pun perempuan yang harus bertanggungjawab atas kehancuran. Padma tak mampu bayangkan, betapa kacaunya wanita di luar yang dapat perlakuan yang sama dengannya. Bagaimana mereka yang melacurkan dirinya demi uang dan tuntutan hidup yang tak pernah mereka terka.

Dunia busuk.

Dan Padma jadi salah satu unsur kerusakan yang juga berperan di dalamnya.

Manusia dan segala warna.

Melihat si dara sesenggukan di sisinya, tak ada yang bisa Damar lakukan kecuali terdiam. Menatap kasihan gadis malang yang menangis sembari peluk jaketnya erat-erat. Menunduk dalam sampai rambutnya terjatuh ke sisi tubuh dia. Menutupi wajahnya.

Pasti berat jadi seorang wanita.

Sama seperti ibunya. Sama seperti para selir ayahnya.

Damar tidak tahu dia harus apa. Mau memeluk tapi dia siapa? Mungkin Padma cuma butuh waktu sendiri. Atau barangkali dia tak lagi sudi disentuh laki-laki.

Gadis manis. Kasihan dia sebab harus terlahir sebagai seorang dara.

Tapi Damar bisa apa?

"Maaf, Padma."

***

Buana Bumantara | J-Line Treasure Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang