[Tiada Janji 'Kan Jumpa di Surga]

119 25 0
                                    

Keadaan menjadi super kacau setelah ledakan terjadi. Orang-orang berlari mundur kembali ke titik awal. Menyelamatkan diri. 

Namun Jatmiko adalah anomali.

Alih-alih berlaku sama, dia nekat menuju pusat perkara. Menembus kabut tebal, menyelinap ke dalam ruang sempit yang tercipta. Dalam kepala, Jatmiko mengutuk serapah jajaran pemerintah.

Cuma demo, tapi rasanya Jatmiko seperti terjun ke medan perang mempertahankan kemerdekaan negara melawan musuh alih-alih aparat penegak keadilan. 

"MUNDUR!" Perintah satu suara. Jatmiko tidak tahu itu siapa, barangkali Zulfikar. "BANTU YANG JATUH!"

"ARYO!" Jatmiko berteriak, memanggil sang saudara sembari menyusuri lautan manusia yang melawan arusnya. "ARYO!" 

Tepat setelah sekali lagi memekikkan nama si bungsu Gusti Raden, Jatmiko tersandung. Membuatnya tersungkur jatuh mencium tanah. Pandangannya berkunang-kunang menatap ke arah kaki-kaki bergerak. 

"Aduh!" katanya pelan. Kepala Miko berputar-putar, netranya kembali mengucurkan air mata. 

Beruntungnya, orang berlari melewati tanpa menginjak badannya. Sejenak Jatmiko terdiam dengan posisi telengkup untuk kemudian mendengar ledakkan kedua. 

"MUNDUR!" Dilanjut asap tebal yang membuat orang-orang memejam. 

Gas air mata kembali ditembakkan.

"GENDENG!" 

Entah siapa yang berkata, tapi Jatmiko setuju dengannya. 

Sayang, setelah serangan lagi-lagi dilakukan. Nasib Jatmiko tidak semujur diawal. Sebab orang-orang menutup mata karena rasa perih menggerus. Karenanya, si muda harus menanggung sakit karena kini ia mulai diinjak-injak. 

"Aduh!" seru orang-orang waktu tanpa sengaja melangkah di atas tubuhnya. 

Sepuluh detik berlalu, Tapak kaki tetap Jatmiko rasa. Tak berangsur mereda. Apalagi setelah suara tembakan tiga terdengar entah darimana.

Pun kalaupun sudah selesai, pemuda itu tidak yakin dia mampu bangkit. Karena kini, dada Jatmiko rasanya begitu sesak. Kepalanya pening dan matanya tak sanggup terbuka. 

Menelan ludah susah payah. Pemuda itu takut sekali.  

Kepala Jatmiko sudah tak bisa berpikir apa-apa kecuali kematian yang membayang di depan muka. 

"Mati," teriak kepalanya keras-keras. "Tanpa orang yang kamu sayangi." 

Iya. 

Jatmiko paham.

Dia pantas mendapatkannya. 

Nekat membuka netra, buram bisa Jatmiko pandang. Segaris air kental mengalir dari pelipisnya menuju bibir. Bisa Jatmiko kecap amis besi yang dia asumsikan sebagai darah. Menelan saliva lagi, Jatmiko akan benar-benar mati. 

Dia tidak mampu bangkit apalagi berlari menyelamatkan diri. 

Sisa kesadarannya mungkin akan hilang dalam hitungan ketiga. 

Beginikah akhir hidupnya?

Jatmiko tertawa. 

Dia sendirian. 

Terinjak-injak masa.

Tak ada yang menyanyikannya lagu Lelo Ledhung. 

Pun dia tak yakin akan bertemu Handaru karena surga jelas bukan tempatnya. 

"Maaf." 

Jatmiko sampai tidak sadar dia mulai meracau. 

Beginikah tingkah orang saat sekarat? 

Jatmiko tidak paham. Dia belum pernah mati, atau menghadapi seseorang ketika mereka diambang hidup.

Handaru tidak diberi kesempatan bahkan untuk mengucapkan salam perpisahan apalagi wasiat. Anak itu meninggal dalam damai meski dihantarkan dengan tangisan. Wajahnya tersenyum bahkan setelah petinya tertutup rapat. 

Terkekeh getir. 

Jatmiko tidak diberi tenggat untuk mengucapkan permintaan maaf baik pada sang adik juga masyarakat. Tidak pula ia diberi syarat untuk memperbaiki kesalahan. 

Mungkin Tuhan yang akan turun tangan menghukumnya di akhirat. 

***

Buana Bumantara | J-Line Treasure Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang