Dalam kepala Damar, ada ribuan hal terputar. Dia dilingkupi kecemasan. Sebab dalam satu waktu singkat, ada beberapa hal yang dikhawatirkan.
Kaki Damar bergoyang tidak nyaman, sedang dadanya berdebar hingga rasanya nyaris seperti hendak meledak. Jemari si adam tak berhenti menggulir layar ponsel menunggu kabar. Di bawah meja secara diam-diam, soalnya saat ini dia berada di tengah-tengah obrolan. Dihadapannya, dua pasang suami istri sedang saling bertukar basa-basi.
"Maaf ya, Nak Damar. Deborah barangkali sedang terjebak macet. Mungkin dipikirnya, Jogja nggak akan sepadat Jakarta," ujar seseorang. Tepat ketika Damar sedang memperhatikan poster; dari BEM SI yang mengatakan kalau 4 hari lagi, mahasiswa seluruh Indonesia akan melakukan demo agar pemerintahan mengubah undang-undang tentang masa jabatan presiden.
"Tidak apa-apa, Tante," balas Damar sembari tersenyum ramah. Langsung menyimpan ponsel ke dalam saku celana.
"Mungkin sebentar lagi akan tiba," janji Maya, calon ibu mertuanya.
Ujarnya selesai bertepatan dengan sebuah suara berupa, "Permisi." Yang dalam sekejap tarik seluruh perhatian untuk mengarah pada presensi seorang gadis berbalut gaun merah panjang dengan jas abu formal. Rambutnya terurai, jatuh menyentuh pinggang.
Senyuman ramah terulas dari bibirnya, juga langkah-langkah kaki mantap dan anggun datang mendekat.
Dia menunduk penuh permohonan maaf, "Maaf karena lama menunggu. Ada beberapa masalah di perjalanan tadi," akunya lembut.
"Terjebak macet, Cah Ayu?" Mira bertanya. Menyilahkan yang lebih muda untuk ambil duduk di kursi kosong yang ditujukan buat dia. Menyisakan tiga bangku yang disediakan buat saudara Damar.
"Bukan, Tante. Tadi ada kecelakaan beruntun. Jadi jalannya dialihkan." Di atas pahanya, Damar mengepalkan tangan. Perasaan cemas mengelayut makin parah. Sejak sejam lalu, pesan singkat yang dia kirim untuk ketiga adiknya tidak kunjung merespon balas. "Dengar-dengar karena balapan liar."
Pernyataan Deborah buat kepala Damar jadi makin pening. Di pikirannya cuma ada sebuah nama. Tapi Damar tidak bisa serta merta bersikap gegabah karena takut menambah lebih banyak masalah. Yang bisa dia lakukan cuma mewarta doa, memohon keselamatan untuk Aryo dimanapun pemuda itu berada.
"Kamu Damar 'kan?"
Sebuah tanya menyapa rungu si sulung Raden Mas yang sejamang tadi menuli. Menarik perhatiannya untuk kembali pada pertemuan malam ini.
"Iya," jawabnya. Menatap mata hitam Deborah yang memandang dirinya intens. Tajam. Seperti sedang menilai. Sedang lawannya cuma diam, otaknya tidak ada di sana. Berkelana mencari keberadaan Jatmiko, Aryo, dan Handaru yang dia harapkan kedatangannya. "Mau keluar sebentar?"
Kurva di bibir Deborah tersungging. Hatinya melonjak, merayakan selebrasi kecil sebab Damar membaca apa yang diinginkannya.
"Boleh."
Damar mengangguk. Tersenyum tipis untuk kemudian mengalihkan pandang ke arah orangtuanya untuk memohon izin.
"Jangan jauh-jauh, Cah Bagus. Jaga Deborah baik-baik ya, Le," pesan Mira.
Dia agak khawatir karena sang mama membaca kegelisahan dan ketidaknyamanan yang terpancar di wajah teduh sang putra. Secara tidak sadar, pemuda itu terus mengerutkan keningnya tanpa ketenangan.
"Nggih, Ibu." Menghela lega, sebuah izin dikantonginya.
"Titip Deborah ya, Damar. Buruk dia dalam mengingat."
Tanpa diperintah, Damar pasti akan jaga gadis di hadapannya. Apalagi malam ini, Deborah sudah termasuk tanggungjawabnya. Jadi setelah berpamitan sekali lagi, disilahkannya Deborah untuk melangkah lebih dulu. Diikuti Damar yang mengekor di belakang. Berjalan dengan kepala tertunduk. Menuju pringgitan tanpa presensi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buana Bumantara | J-Line Treasure
FanfictionDi dunia ini, Damar cuma punya tiga hal; rencana manipulatif Jatmiko, keberanian Aryo, dan pengetahuan semberono Handaru. Bagi Damar, hidup boleh saja mempermainkan dia, menimpanya dengan ribuan bencana, atau membebani si muda dengan lebih banyak pe...