ACT II. Animo

131 27 9
                                    

Kendati suara Jatmiko tak lagi terdengar, tapi bising masih bisa Aryo rasakan. Sebab pikiran-pikiran yang meronta-ronta dalam kepala. Ada sesak yang tiba-tiba ia kecap. Menohok kerongkongannya mengirim refleks pada pemuda itu untuk dengan segara tatap Jemima. Yang juga memandang dia dengan ekspresi sarat bersalah.

"Aryo, aku bisa jelasin." Ternyata memang peka, terhadap kekecewaan Aryo yang tertuju kepadanya. "Aku dan Jatmiko gak ada apa-apa," menelan ludah, serangan panik membanjiri si dara, mengirim ekspresi sama pada rupanya, "Niatku-"

Menghela, Aryo angkat tangannya ke udara. Menyuruh Jemima terdiam dengan gesturnya yang tegas.

Tersenyum nelangsa, agak sakit juga hatinya, "Nanti ya," janjinya, "Biar aku selesaikan dulu dengan dia."

Tak mau dengar lebih banyak kata yang barangkali akan mengudara, Aryo berlalu begitu saja. 

Tak mengindahkan panggilan gugup Jemima. 

"Yo- Yo," mohonnya gentar, meraih pergelangan tangan si adam yang akhirnya berhenti berjalan. Dalam hati, Aryo juga tidak tega dan merasa terlalu kekanakan kalau marah tanpa mendengar lebih banyak penjelasan,"Ja- jangan berantem." 

Seperti tahu apa yang ada dalam kepala Aryo. Jemima membacanya seperti buku terbuka. Pun dia sama sekali tidak buta aksara. Ia bahkan sudah hapal perbabnya. 

"Iya," ujarnya, "Tapi tergantung urusanku dengan dia."

"Yo-" putus asa. Kepala Aryo memang lebih keras dari batu. Dia tidak mau mendengar, kecuali Damar yang menekankan. 

Mengabaikan Jemima dan percobaannya dalam menenangkan luka, Aryo buka pintu kamar kos Jemima. Mendapati Jatmiko yang berdiri menunggunya. Tak menampilkan raut yang berarti, datar seperti tak pernah melakukan kendati kedatangannya adalah pertanda sebuah petaka, bagi kepercayaan Aryo pada gadis yang dijaganya. 

"Aku gak berencana dipukul olehmu hari ini," kata Jatmiko tepat setelah Aryo menginjakan kakinya di depan pintu. Memberikan yang lebih tua sebuah ekspresi marah yang kental permusuhan. Benar-benar ciri khas Aryo sekali, "Jangan marah pada Jemima juga, dia memberitahu alamatnya supaya aku bisa terus mengawasi panjenengan. Toh selama ini aku juga tidak pernah bertamu, baru hari ini, itupun karena hendak bicara denganmu."

"Wow," kata Aryo, menaikkan satu alisnya tak habis pikir, "Mau menjadi ayahku panjenengan?"

Memutar bola mata, agak muak dia pada Aryo yang tak pernah mau mendengar. Sudah terlalu banyak juga Jatmiko mengalah pada saudaranya satu itu. 

"Berhenti berpikir buruk, Aryo," titahnya pelan, "Dengar, aku datang kemari karena ingin memberitahumu sesuatu."

"Penting?"

"Menurutmu saja bagaimana?"

Tidak ada Jatmiko yang biasanya. Yang datang pada Aryo dengan tujuan menggoda. Kali ini ia terlihat ratusan kali lipat lebih serius. Bikin Aryo juga jadi agak segan untuk lebih banyak melawan. 

"Apa?" tanyanya, setelah mengedipkan mata beberapa kali. Meredakan kemarahan yang selalu muncul tiap kali ada Jatmiko di sekelilingnya. 

Jatmiko mengangguk yakin, "Tadi aku tidak sengaja lihat berkas Romo."

Aryo tahu dia kurang ajar, sikapnya kadang kelewat parah sehingga terkesan seperti pemuda yang tidak terdidik. Begundal kurang ajar. Tapi meskipun begitu, sebenarnya, Aryo tetap tahu batasan. Seperti tidak pernah mengintip juga menguping apa yang bukan urusannya. Maka setelah dengar pengakuan Jatmiko, ada rasa tak terima dalam dada. Membuat si muda dengan segera mengerutkan kening hendak protes. 

Mau marah juga mengamuk dan menceramahi Jatmiko kalau perbuatannya yang kurang ajar tidak pernah diperbolehkan apapun konteksnya. 

Sebelum Jatmiko kembali tutup mulutnya dan berkata, "Dalam berkas dikatakan, karena pemerintahan yang sedang tidak baik-baik saja, maka pemilu untuk pemilihan presiden periode berikutnya akan ditunda untuk waktu yang belum ditentukan." 

Buana Bumantara | J-Line Treasure Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang