This part contains flashback memories, please read carefully.
***
Kalau boleh jujur dikata, sebenarnya Aryo tidak punya alasan yang spesifik tentang kenapa ia membenci Jatmiko. Tak memiliki alibi. Nihil dalih.
Pemuda itu juga tidak ingat sejak kapan dirinya jadi tak suka akan keberadaan Jatmiko di sekitar dia. Kendati sejak kecil mereka selalu bersama. Membagi banyak hal serupa, menangis juga tertawa karena hal yang tidak jauh berbeda. Dulu, Jatmiko adalah saudara yang paling Aryo suka. Alasan pertama sih karena umur mereka sebaya. Sedikit-banyak, mereka menjalani pengalaman yang setara.
Tapi, semenjak mendengar perkelahian antara Damar dan Romonya disuatu malam berhujan.
Sejak saat itu juga Aryo jadi membenci Jatmiko setengah mati. Kejadiannya waktu si Gusti Raden masih kelas 12. Masa ketika pemuda itu sedang dipusingkan dengan pemilihan jurusan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Dia dilema pun benar-benar bimbang sampai rasanya kepala Aryo bisa meledak sewaktu-waktu. Terlalu banyak yang harus Aryo pikirkan dan pertimbangkan.
Ia takut, akan banyak hal yang berputar di kepala. Tentang berbagai macam pertanyaan seputar; "Bagaimana?"
Aryo suka seni, berniat ambil jurusan yang juga bergerak pada bidang sama. Tapi agak ragu sebab romonya pasti tidak akan menghendaki dia untuk berbuat semaunya.
"Seperti tidak punya cita-cita," kata yang Aryo prediksi akan menguar dari mulut romonya.
Maka di tengah kegalauan yang Aryo rasa, pemuda itu memutuskan untuk menemui Damar berniat untuk membagi cerita. Meminta saran dan memohon pertimbangan.
Sebab bagi Aryo, cuma Damar yang bisa menjawab semua kegundahan yang dia rasa. Kakaknya itu seperti keajaiban. Yang selalu mampu bawa tenang dari solusi yang dia tuturkan.
"Mas, bagaimana ya? Aku benar-benar tertarik ambil jurusan seni murni, tapi Romo sepertinya tidak akan pernah mengizinkan. Juga, kalau disuruh pilih jurusan lain, aku tidak yakin bisa bertahan."
Kala itu, Damar sedang kerjakan tugasnya dalam kamar. Dengan lampu belajar sebagai satu-satunya penerangan, buat ruangan pribadi si sulung Raden Mas jadi remang-remang. Mendukung suasana jadi super sendu karena di luar juga sedang turun hujan.
Aryo ada di ranjang, merebahkan tubuhnya di atas kasur Damar yang belum dipasang kelambu. Memperhatikan ceiling kayu yang terukir di atas sana. Terlentang.
"Panjenengan mau aku untuk mendengarkan saja atau memberi saran?"
Hanya didengarkan memang membuat lega, tapi untuk sekarang, Aryo benar-benar membutuhkan pendapat dan masukan.
"Saran, Mas. Tolong beri adik panjenengan ini masukan."
Irama yang Aryo gaungkan kelewat putus asa. Mendengarnya bikin yang lebih tua jadi anggukan-anggukan kepala tanpa menatap lawannya. Fokus memandang layar laptop. Damar benar-benar mengerti masalah yang sedang si adik hadapi. Sebab dia pernah ada di posisi yang sama pun saat itu juga sedang berjuang untuk cita-cita serupa.
Maka, pada Aryo dia berkata, "Kalau memang suka, lanjutkan saja, Yo. Mau ambil seni rupa murni? Di ISI?"
Jawabnya terlalu sederhana. Mudah sekali Damar berkata demikian. Karena pada saat itu, kakaknya tak sedang merasakan apa yang Aryo sedang pusingkan. Jadi, mendengar penuturan abangnya, alih-alih lega dan tenang, Aryo jadi merasa sebal.
"Nanti Romo marah," sungutnya. Menukikan alis ke arah Damar yang tak memandangnya. Seperti tidak menaruh perhatian pada si muda. Sibuk berkutat pada tugas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buana Bumantara | J-Line Treasure
FanficDi dunia ini, Damar cuma punya tiga hal; rencana manipulatif Jatmiko, keberanian Aryo, dan pengetahuan semberono Handaru. Bagi Damar, hidup boleh saja mempermainkan dia, menimpanya dengan ribuan bencana, atau membebani si muda dengan lebih banyak pe...