Sebenarnya bukan benci juga, sih, cuma kesel aja sama kegiatan yang ada di hari Senin. Karena biasanya harus datang lebih pagi untuk mengikuti upacara terlebih dahulu. Ditambah aku masih berdiam diri di pinggir jalan raya menunggu angkot, mungkin ada sekitar kurang lebih 10 menit yang lalu.
Aku melihat jam yang melingkar dipergelangan tanganku. Heuh, bisa telat, nih kalo kayak gini. Dan... Benar saja, aku harus berbaris di barisan paling belakang dengan beberapa sekumpulan anak-anak yang telat juga.
Biasanya, sih ada yang ceweknya juga yang telat, tapi kok kayanya aku tidak melihat satupun perempuan selain aku ya. Aku berbaris di barisan murid yang telat dengan murid cowok... Semua?
Tiba-tiba saja seseorang gabung berbaris disampingku, aku pun melirik kepo, sedikit doang. Dan... Alhamdulillah, dia perempuan. Setidaknya aku agak lega karena tidak sendiri berjenis kelamin betina disini.
Upacara pun selesai, tidak lama tiba-tiba saja kami yang telat diperintahkan untuk berjalan ke arah depan lapangan, lalu disuruh berbaris dengan rapih. Aku pun jadi berbaris di paling ujung. Tidak juga, sih, masih ada seorang pria yang benar-benar berbaris di paling ujung yang tampak-----Hemm, dia tidak terlihat tipe cowok nakal yang sering telat ataupun bolos, gayanya pun tidak slengean kayak cowok-cowok yang berbaris bersamaku ini. Terlihat kaku, pendiam.
Namun, aku juga bukan tampang cewek-cewek nakal juga, sih, berbeda dengan siswi yang ada disampingku ini. Celana ngatung span, seragam ngetat, dada yang terlalu di busungkan, tidak lupa juga bedak yang begicyu tebal, dan jarinya pun sering menutupi bibir yang super duper merah itu dengan centil.
Aku kembali melirik pria kaku itu. Rasanya sudah waktunya aku tidak cepat menilai seseorang dari luarnya. Aku memutarkan bola mataku ke arah lain.
"Bapak sengaja kali ini ke depan-in siswa-siswa yang telat, supaya kalian juga jera dan lebih disiplin."
Yaelah, pak, ini baru pertama kali tau saya telat, itu juga karena angkot sialan itu. Lain kali hukum juga supir angkotnya yang suka telat dan tidak disiplin ya, pak. Jangan cuma muridnya doang.
Dari awal kami berjalan ke depan lapangan, seluruh murid yang mengikuti upacara pun tersorot kepada kami. Namun sekarang mereka ada yang mulai berbisik-bisik kala bapak guru itu menyuruh kami yang telat sit up 10 kali dengan kompak. Jika tidak kompak, hitungannya dihitung dari awal lagi.
Siswa-siswi itupun beberapa ikut menghitung seakan-akan seperti ikut membuli kami yang ada didepan lapangan ini. Bahkan beberapa dari mereka jadi propokator melihat salah satu dari kami tidak kompak dan menyuruh menghitung dari awal lagi. Awas Lo semua ya. Tidak sesangar itu, sih sebenarnya.
Setelah sesi hukum-hukuman itu selesai. Nama kami dicatat satu persatu dari ujung ke ujung. Sayangnya siswa yang pertama dicatat dari ujung yang berlawanan denganku. Aku pun jadi yang kedua yang terakhir namanya dicatat.
Seharusnya, sih begitu, tapi setelah namaku dicatat, guru BK itu kembali ke tempatnya. Aku sedikit terbelalak menoleh kepada cowok kaku itu karena namanya tidak ikut dicatat.
What?... Apa-apaan ini. Apa dia anak guru ya, atau diam-diam anak kepala sekolah sehingga namanya tidak ikut dicatat? Mau anak siapapun itu menurutku ini tidak adil. Dia kan juga siswa disekolah ini!!
{•••}
"Kok nama Lo gak dicatet?" Tanyaku penasaran
Kami berada disebuah lorong sekolah yang memang lagi tidak ada siapa-siapa, mengingat semua murid sudah dimasukkan ke kelas terlebih dahulu sebelum akhirnya kami yang telat diperintahkan masuk kelas, setelah beberapa menit saat nama kami semua sudah dicatat. Kecuali cowok ini, sih, makanya aku menanyakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu Itu
Teen FictionBukankah setiap manusia mempunyai waktunya masing-masing? Bukankah setiap manusia mempunyai zamannya sendiri-sendiri? Bukankah pepatah mengatakan setiap orang ada masanya? Jadi, apa yang ia lakukan terhadap waktu sampai aku bisa mengenalnya? Mungkin...