8. Lupakan soal...

12 7 1
                                    

Lupakan soal pulang, lupakan soal mandi. Tampaknya aku mulai nyaman berada di sini. Aku benar-benar menikmati setiap hembusan angin yang masuk ke pori-pori wajahku. Sudah tidak peduli dengan rambut yang tidak beraturan. Mataku terus terpejam sekarang, berusaha sedalam mungkin menikmatinya, dan melupakan sejenak apa yang telah terjadi. Diam-diam senyum kecil terukir di wajahku. Habit Rey berhasil membuatku menjadi lebih damai sekarang.

Namun, aku mulai membuka mataku perlahan yang terpejam cukup lama itu. Aku menoleh ke arahnya. Ternyata Rey sedang menatapku entah sejak kapan. Ia menatapku dalam membuatku seperti terhanyut oleh tatapannya itu. Senyum yang tidak lama baru terukir saja pun mulai menghilang dari wajahku. Tatapan Rey benar-benar seperti menghipnotis yang membuatku diam tidak berkutik seperti ini.

Deg

Loh?

{•••}

Lupakan soal kejadian di atas gedung terbengkalai itu. Perasaanku benar-benar tidak karuan waktu itu. Aku terus memegangi dadaku saat ini mengingat kejadian di sana. Kenapa, ya. Kenapa perasaanku jadi begini?

Lagi pula salah dia juga, perlahan tiba-tiba saja wajahnya mendekat kepadaku. Kukira ia ingin melakukan hal yang melanggar hukum, toh ya sudah, tentu saja aku refleks menamparnya. Setelah itu ia baru menjelaskan bahwa ternyata ada kotoran mata bernama belek itu di mataku. Dia cukup sopan juga, menyebutnya dengan kotoran mata. Kalau Ririn sama Syifa mah pasti udah teriak 'MATA LO ADA BELEK NOH!'

Heuh. Malu sekali rasanya.

Ya Sudahlah. Memang sudah semestinya aku memperhatikan guru yang sedang menerangkan ini, bukan malah melamun tidak jelas. Lagi pula, daripada benar-benar disuruh keluar kelas, kan. Namun, sesaat kemudian, tiba-tiba saja Ririn berbisik kepadaku.

"Lo disuru ke kelas Draven nanti, Ra."

Aku mengernyit, "ngapain?"

"Gak tau. Draven, sih tadi bilangnya begitu pas ketemu gue di depan gerbang. Anjir gak, tuh? Kelasnya 12 IPS 2."

Aku menghela nafasku. Mau apa, sih tuh anak. Jangan mentang-mentang aku diamanahi sama orang tuanya, deh. Tunggu, kemarin Rey bilang kalau dia sekelas sama Draven, kan? Kemungkinan nanti aku bakal ketemu dia juga dong? Kalau dia jam istirahat masih di kelas juga, sih. Dari dia aku baru tahu kalau Draven adalah murid pindahan. Lagi-lagi berita yang dibicarakan Ririn dan Syifa tidak benar. Sepertinya, akulah orang yang malah update dengan berita-berita di sekolah ini yang pastinya real.

Eh, kenapa aku sebegitu percayanya dengan cerita Rey, ya. Tapi, memangnya ada kemungkinan orang seperti Rey berbohong?

{•••}

Aku kebingungan. Kenapa Ririn dan Syifa masih diam duduk di tempatnya, di saat aku sudah berdiri ingin pergi menuju kelasnya Draven. Apa mereka tidak mau ikut? Tumben banget.

"Kok, Lo berdua masih diem? Gak mau ikut gue ke kelasnya Draven?" Tanyaku kepada mereka, namun respon mereka malah nyengir-nyengir sambil melihat satu sama lain sekilas.

"Kenapa?" Tanyaku lagi memastikan, bingung dengan mimik wajah mereka berdua.

"Gak dulu, deh, Ra," Ujar Syifa.

"Kan, Lo tau sendiri kali Draven seremnya kayak apa. Tadi aja badan gue gemetaran anjir pas disamperin sama dia yang lagi ngendarai motornya. Masih takut kita," Celetuk Ririn.

"Entar kalo dia benar-benar emang udah berubah, baru deh kita berani," Sambung Syifa.

Aku hanya menghela nafas melihat respon mereka berdua, hanya mengiyakan setelah itu langsung pergi dari sana. Heuh, waktu istirahatku seperti terbuang sia-sia saat melangkah menuju kelasnya itu. Eh, tadi kata Ririn kelasnya di mana? 12 IPS 2. Tambah merasa malas saat mengetahui jarak gedung kelas IPA dan IPS lumayan jauh ketimbang cuma harus pergi ke kantin.

Waktu ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang