6. Harusnya dia sujud syukur

14 10 0
                                    

Aku terus masih memikirkan kejadian tadi. Sebenarnya apa, sih yang terjadi. Anehnya lagi kenapa tiba-tiba aku jadi sakit jantung segala, padahal dari dulu tidak pernah ada riwayat penyakit jantung sama sekali.

Apa, sih. tadi itu apa?

"RADITA."

"APA, SIH?"

Hening. Seluruh kelas terdiam melihatku membalas teriakan dari guru yang sedang mengajar. Guru itu tampak tidak percaya melihatku. Tidak guru itu saja, sih, tapi seluruh kelas bahkan kedua temanku.

"Ra, Lo kenapa anjir?" Bisik Ririn terhadapku. Rupanya aku melamun dari tadi saat guru sedang menerangkan.

"Jangan bengong mulu, Ra. Dari tadi Lo dipanggilin guru juga gara-gara melamun terus." Aku jadi kikuk sendiri setelah Syifa berbicara seperti itu. Semua siswa di kelas benar-benar sedang memandangku sekarang.

"Radita. Kalo kamu gak mau mendengarkan saya lebih baik kamu keluar." Ujar guru itu.

"Maaf, Bu. Saya tadi melamun."

Guru itu tampak menghela nafasnya lalu kembali menulis di papan tulis dan menjelaskan materi. Aku memijit pelipisku sendiri. Kenapa kepalaku jadi pusing begini. Tapi kalau dipikir-pikir, kejadian-kejadian yang tak terduga mulai menimpaku semenjak aku bertemu dengan pria kaku. Emm.... Maksudku Reyhan. Aku belum terbiasa menyebut namanya sendiri. Namun satu hal yang pasti, dia terasa seperti tidak asing bagiku.

{•••}

"Ayo, Ra." Ririn menarik lenganku. Tentu saja aku terkejut melihatnya.

"Eh, eh. Mau ke mana?"

"Iiat sidangnya Draven. Udah pada rame anjir, ayo!" Ujar Ririn lagi, terus menarik lenganku.

Sebenarnya, sih aku males. Tapi karena si Ririn ini ribet banget, terpaksa aku bangkit dari dudukku dan mengikuti dia dengan Syifa yang sudah menunggu di ambang pintu.

Ternyata, kata Ririn benar. Udah rame banget. Mungkin hari ini adalah hari bersejarah bagi semua siswa. Makanya itu mereka seantusias itu. Atau mungkin sebenarnya mereka sudah lama memendam rasa dengki dengan Draven dan benar-benar menunggu saat-saat seperti ini? Supaya hidup mereka juga tenang.

Namun, tidak sedikit juga yang menyayangkannya. Ternyata banyak juga gadis-gadis yang menyukainya karena perawakannya yang tampan hasil campuran dari Belanda. Sebenarnya juga Draven hampir bisa dibilang tidak pernah membuli seorang perempuan, hanya laki-laki yang kurang ajar dengannya. Entahlah, mungkin karena berita Draven menjatuhkan anak di roof top sekolah itu jadinya anak-anak banyak yang takut kepadanya. Mungkin mereka menganggap rasanya sekolah lebih tenang jika tidak ada dia.

Aku kembali ditarik Ririn untuk duduk di salah satu bangku. Syifa dan Ririn pun duduk di samping kanan kiriku. Aku menghela nafasku entah karena apa. Mungkin karena rasa malas melakukan hal yang tidak aku inginkan sama sekali. Iseng-iseng aku menoleh ke belakang. Tiba-tiba saja pandanganku berhenti ke seseorang. Itu Reyhan. Ia berdiri tepat di dinding dekat arah masuk ruangan besar ini. Besarlah, orang ini GOR olahraga. Wajahnya tampak murung, apa ia sebegitunya tidak mau jika Draven dikeluarkan dari sekolah?

Rey tiba-tiba saja melihatku. Ia mengangkat kedua tangannya mengantupkan seperti memohon. Aku jadi tidak tega melihatnya. Apa yang membuatnya seperti ini, ya?

Syifa menepuk pundakku dan menyuruhku untuk melihat ke depan. Di sana ada Draven, kepala sekolah dan guru-guru lainnya, tidak lupa kedua orang tuanya Draven duduk di depan bersama anaknya itu. Lalu, sidang pun dimulai dengan semua kursi yang sudah dipenuhi murid itu, dan beberapa orang tua murid yang duduk di barisan kursi paling depan. Adapun yang tidak kebagian kursi, ia berdiri di belakang.

Waktu ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang