Sejak tadi, beberapa kali aku selalu menahan nafas, berusaha agar bau tengik itu tidak masuk ke dalam hidungku. Namun, lama-kelamaan aku jadi merasa sesak sendiri, batuk pun sudah tidak bisa kuhindari. Mau tidak mau aku harus buka suara untuk ini.
"Bisa gak, sih lo ke toilet dulu, bau rokok lo tadi masih berasa, nih!" Ujarku kepada Draven pastinya.
Aku dan dia sedang berjalan di koridor sekolah. Ia melirikku yang sedang sibuk mengibas-ngibaskan jemari agar sisa bau rokok darinya itu tidak menggentayangi hidungku. Namun, dengan disengaja ia malah menyemburkan nafasnya itu yang tentu saja masih bau rokok ke arahku, membuatku spontan langsung terbatuk-batuk tidak kuat dengan bau mulutnya.
"Apa-apaan, sih lo. Uhuk... Bau tau gak!" Aku yang menutup hidungku dengan cara mencubitnya. Namun ia malah tertawa sekarang saat melihat responku.
"Kalo lo gak mau, gue aja deh yang ke toilet." Ujarku langsung berbelok arah.
Draven mengikutiku dari belakang, lalu berhenti saat aku mulai masuk ke dalam toilet. Ya, iya lah, masa dia ikut masuk. Aku membasuh muka, mencuci mulut, dan mencuci tangan tentunya dengan sabun yang cukup banyak kugunakan. Setelah mengambil tissue dan mengeringkan yang basah, aku pun kembali keluar toilet.
Saat membuka pintu, aku melihat Draven yang sepertinya sedang menungguku dengan bersandar di dinding samping pintu itu, ia juga memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Namun, aku malah heran kepadanya. Nih, anak bukannya masuk juga ke toilet pria cuci mulut atau apa gitu biar baunya hilang, eh, malah diem di sini. Aku berkacak pinggang ke arahnya, ia hanya menoleh kepadaku.
"Lo gak cuci mulut atau apa kek gitu biar bau rokok lo itu ilang?" Omel ku.
Entah kenapa jika dengan Draven aku terlihat lebih cerewet dari biasanya, padahal aku tipe orang yang bisa dibilang sedikit cuek dan tidak pedulian jika itu bukan urusanku.
"Males," Jawabnya singkat. Jangan sok-sok dingin, deh lo!
Aku menghela nafas, lalu langsung ku tarik saja lengan seragamnya itu agar dia mengikutiku. Aku membawanya ke kantin dan berhenti di sebuah tempat yang banyak jajanan berkemasan itu. Namun, aku hanya membeli beberapa permen yang mempunyai rasa mint. Setelah membayar, aku langsung menyuruh Rav untuk memakannya.
"Apaan, nih?" Tanyanya. Jelas-jelas ini permen.
"Ini permen, buat lo makan biar gak bau." Jelasku.
"Gak usah segininya juga kali, Ra."
"Ya, emang lo mau ketauan guru kalo lo abis ngerokok?" Ancamku agar ia mau menurutiku.
Draven tampak menghela nafas lalu menerima semua permen yang kuberikan. Aku tadi asal mengambil saja, jadi tidak benar-benar tahu berapa jumlah permen itu. Ia membuka dan memakannya satu, lalu kami kembali berjalan menuju parkiran. Saat sampai ia memberikan helm yang biasa aku pakai itu.
Di saat sibuk kesulitan untuk mengunci helm ini, Draven juga sedang sibuk mensela motornya. Sampai motornya berhasil menyala pun aku masih belum selesai dengan kesibukanku. Melihat aku sedang kesulitan, Rav mengambil inisiatif untuk membantuku mengunci helm-ku ini.
Sejujurnya aku memang selalu kesulitan untuk memasangkan helm ini di kepalaku. Namun saat pertama, Rav hanya menghinaku seperti 'lama banget, sih', lalu setelah itu baru ia membantuku. Tapi semakin ke sini, Rav lebih inisiatif untuk membantuku tanpa meledekku terlebih dahulu.
Aku menaiki motornya, ia pun mulai melajukan motornya itu dan masuk ke jalan raya untuk bergabung dengan kendaraan-kendaraan lainnya. Namun, ada yang berbeda dengan arah yang Draven pilih saat ini. Karena sering bertamu ke rumahnya, aku jadi mulai hafal dengan jalur-jalur yang biasa dilewati Draven untuk ke arah rumah orang tuanya itu. Dia mau membawaku ke mana? Akhirnya aku pun mulai membuka suara melihat daerah yang lebih asing dari biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu Itu
Teen FictionBukankah setiap manusia mempunyai waktunya masing-masing? Bukankah setiap manusia mempunyai zamannya sendiri-sendiri? Bukankah pepatah mengatakan setiap orang ada masanya? Jadi, apa yang ia lakukan terhadap waktu sampai aku bisa mengenalnya? Mungkin...