"Ibu tadi kasih pesan, nden harus hati-hati, bawa motornya jangan ngebut-ngebut, kasian nak Radita-nya." Ujar ibu paruh baya yang sepertinya bernama Bi Inah itu.
Kami menuju halaman rumah hanya dengan ditemani oleh ibu ini. Setelah mengajarinya dan makan siang bersama, dengan Bi Inah yang membawakan makanannya ke ruang keluarga itu, aku langsung meminta untuk pulang. Sayangnya tadi mamanya Draven tidak ikut makan bersama. Ya, aku ngerti, sih perasaannya.
Draven hanya mengiyakan lalu segera memakai helmnya untuk mengantarku. Ada yang membuatku heran kepadanya saat mengajarinya matematika, ia terlihat cepat menangkap apa yang aku ajari, bahkan langsung mengerti saat pertama kali aku jelaskan. Namun, kenapa nilainya bisa anjlok? Ah... Aku mengerti anak remaja laki-laki seperti Draven yang tidak ada niat sama sekali untuk belajar. Lagi pula ia juga lebih banyak berleha-leha, bahkan lebih banyak memainkan telepon genggamnya itu, terlihat tidak terlalu serius.
Motor Draven mulai melaju. Kecepatannya tidak seperti saat pertama tadi, jalannya lebih santai yang membuat suasana terasa damai dengan pemandangan sore hari yang sedikit terlihat mendung. Aku tidak menyuruhnya mengantarku sampai ke rumah, melainkan kembali ke sekolah. Itu sebab kenapa Draven bertanya saat ini kepadaku.
"Kenapa balik ke sekolah, sih, emang rumah lo di sekolah?" Tanyanya meledek.
"Gue, masih ada urusan di sini. Jadi anter sampai sini aja."
Draven masih menunjukkan kerutan di dahinya, "terserah kalo kayak gitu. Asalkan Lo jangan ngadu yang enggak-enggak ke Mama."
"Iya, enggak."
"Bagus, deh. Jadi gue gak usah capek-capek."
Aku hanya berdesis kepadanya. Ya, aku tahu, sih kalau dia sepertinya memang tidak pernah niat, toh aku juga tidak peduli. Aku sengaja memintanya untuk mengantarku ke sekolah karena aku ingin bertemu dengan Rey dahulu. Iya, Rey. Lagi pula, seharian ini aku belum berkontak apapun dengannya. Tapi aku tidak tahu, sih dia masih ada di sekolah atau tidak, makanya itu aku langsung menaiki angkot jalur yang sama dan mungkin hanya kebetulan supirnya juga sama dengan yang waktu itu.
Aku bisa saja langsung menyuruh Draven untuk mengantarku ke gedung terbengkalai itu, namun rasanya aku tidak rela jika ia mengetahuinya juga, yang ada malah diambil alih sama dia, dan kembali merebut tempat ketenangannya Reyhan. Aku sama sekali tidak mau itu terjadi.
Lagi pula waktu itu Rey juga pernah bilang "jangan beritahu tempat ini kepada siapapun ya, Ra. Kamu spesial bagiku, makanya itu kamu yang aku bawa ke sini."
Dia pintar sekali memilih kata-kata, membuatku salah paham dengan kata 'spesial' yang ia ucapkan itu.
Saat beberapa waktu berada di angkutan umum itu, akhirnya aku sampai di gedung terbengkalai. Aku mulai masuk dan menaiki tangga untuk ke lantai paling atas dengan harapan ia ada di sana. Ternyata benar, saat sampai ia ada di sana sedang duduk di benda kotak tertutup terpal yang sama dengan waktu itu. Sepertinya matanya sedang terpejam, seperti biasa menikmati angin di sini.
Namun, aku merasa anginnya saat ini lebih terasa sejuk, berbeda dengan yang kemarin. Mungkin karena cuaca mendung di langit itu. Aku berjalan mendekatinya.
"Berarti Lo lagi gak enak hati dong, ya? Buktinya ada di sini?"
Mata Rey mulai terbuka perlahan mendengar suaraku. Ia menoleh ke belakang. Ia tersenyum kecil saat melihat ternyata itu aku. Aku ikut membalas senyumannya dan berjalan untuk duduk di tempat yang sama dengan yang kemarin, di sampingnya. Ia kembali memandang pemandangan yang ada di depannya itu.
"Iya," Jawabnya singkat namun jelas.
"Kenapa?"
"Cemburu liat kamu sama Draven."
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu Itu
Teen FictionBukankah setiap manusia mempunyai waktunya masing-masing? Bukankah setiap manusia mempunyai zamannya sendiri-sendiri? Bukankah pepatah mengatakan setiap orang ada masanya? Jadi, apa yang ia lakukan terhadap waktu sampai aku bisa mengenalnya? Mungkin...