Langit terlihat sudah gelap seakan menegurku bahwa dunia juga sudah ingin istirahat untuk tidur. Hal itu membuatku menjadi tidak punya waktu begitu banyak dengan Rey di gedung terbengkalai. Waktu pulang pun jadi lebih larut, yang biasanya sebelum magrib aku langsung beranjak untuk pulang. Aku dan Rey sedang berada di halte yang selalu menjadi saksi bisu bagi kami berdua.
"Aku antar kamu sampai rumah, ya."
Aku menoleh cepat mendengar itu. Tidak salah dengar, nih?
"Kamu serius, Rey? Enggak usah."
"Udah malam, Ra. Aku temenin aja, ya."
"Nanti kamu pulangnya gimana? Nanti kemalaman, loh."
"Pokoknya, aku temenin kamu."
Sebenarnya bukan tidak mau, namun aku hanya takut nanti ia pulang terlalu malam, walaupun aku belum pernah tahu di mana rumahnya. Lagi-lagi di saat aku ingin membuka mulut untuk berkomentar kembali, bis pun tiba-tiba saja datang. Ia berhenti di hadapan kami berdua lalu mulai membuka pintu.
"Yuk." Ajak Rey yang langsung masuk kedalam bis itu.
Aku mengikutinya dari belakang, ia duduk di kursi dimana kursi bis yang selalu aku duduki itu, mau tidak mau aku duduk disampingnya dengan tas yang kuhadapkan ke depan. Bis pun mulai melaju kembali, kami hanya diam sepanjang perjalanan layaknya penumpang lain yang sibuk dengan telepon genggamnya masing-masing, namun berbeda denganku dan Rey yang hanya duduk terdiam.
Tiba-tiba saja bis terhenti, sepertinya akan ada penumpang lain ingin bergabung dengan kami yang ada di dalam bis, bertujuan untuk ikut menggunakan kendaraan umum ini.
Namun bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja Rey mengambil tasku yang tengah berada di pangkuanku, kini berada di pangkuannya. Aku sempat menoleh heran kepadanya. Namun, hanya sesaat.
penumpang baru itu berjalan masuk kedalam bis dan tiba-tiba saja berhenti sejenak disampingku, melirikku sirik dengan senyuman sinisnya.
"Rakus amat, sih, mba." Julidnya pelan lalu kembali berjalan. Namun, aku tidak tahu tujuan ucapannya itu untuk siapa. Karena kalaupun untukku, aku sendiri pun tidak mengerti apa maksud dari perkataannya yang bilang kalau aku 'rakus'?. Memangnya rakus kenapa jika dituju kepadaku? Perasaan aku hanya diam saja. Biarkanlah manusia tidak jelas seperti dia.
{•••}
Bis itu melaju dari hadapan kami berdua setelah kami turun disebuah halte dekat rumahku. Aku menghadapkan tubuhku kearahnya.
"Sampai sini aja, ya, Rey. Aku takut kamu nanti kemalaman." Ujarku kepadanya.
Reyhan tampak menghela nafas menunduk sebentar, lalu kembali menatapku dengan senyuman yang ia ukir diwajahnya. Rey mengangguk.
"Kamu hati-hati, ya." Ujarnya.
Aku tersenyum. Namun, kenapa sepertinya kakiku terasa berat untuk berbalik dan melangkah meninggalkannya disini? Mungkin, itu juga yang dirasakan Rey saat ia menganggukkan pernyataanku. Aku benar-benar berbalik badan sekarang, melangkah untuk meninggalkannya perlahan.
"Tunggu, Ra."
Aku membalikkan kembali badanku saat ia memanggilku, Rey melangkah mendekatiku. Ia tampak merogoh saku celananya, lalu keluarlah sebuah jepitan rambut berwarna pink dan terdapat karakter panda kecil di ujungnya. Ia menyodorkannya kepadaku.
"Tadinya, aku mau kasih ini saat di gedung terbengkalai itu. Cuma, ternyata malah disini." Rey tertawa renyah.
"Aku membelinya saat menemani ibuku kepasar. Kayaknya, kamu bakal lebih terlihat sangat manis saat memakainya." Ujarnya begitu saja, dengan entengnya tanpa memikirkan konsekuensi apa yang akan terjadi saat ia mengucapkannya terhadap lawan bicaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu Itu
Teen FictionBukankah setiap manusia mempunyai waktunya masing-masing? Bukankah setiap manusia mempunyai zamannya sendiri-sendiri? Bukankah pepatah mengatakan setiap orang ada masanya? Jadi, apa yang ia lakukan terhadap waktu sampai aku bisa mengenalnya? Mungkin...