"Eneng beneran gak apa-apa?" Satpam muda itu kembali bertanya kepadaku.
"Iya, pak." Aku bergegas memakai tas ranselku lalu keluar dari pos keamanan ini.
Saat sampai di ambang pintu, aku kembali menoleh kepadanya. "Sekali lagi terimakasih ya, pak."
Satpam itu tersenyum ramah yang membuatnya memperlihatkan lesung pipi miliknya. Ia pun juga mengangguk.
Sebenarnya, sih selain waktu sudah mulai malam, aku ingin mencari pria kaku itu terlebih dahulu. Entah untuk hal apa atau sekedar mengucapkan terimakasih, yang penting aku bertemu dulu dengannya.
Namun aku tidak menemukannya di manapun. Rasanya aku sudah menelusuri seluruh isi sekolah ini. Apa ia sudah pulang, ya. Tapi kenapa tidak ada rasa takut sekarang saat aku berkeliling sekolah dengan sendirian. Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Sepertinya aku pergi pulang saja. Takut jika orang tuaku khawatir mengetahui aku belum pulang jam segini.
{•••}
"maaf, Bu, Pak. Kami sudah tidak bisa mempertahankan Draven lagi. Menurut saya, ini sudah cukup. Waktunya saya dan sekolah bertindak." Ujar kepala sekolah itu.
Kini Draven dan kedua orangtuanya sedang berhadapan dengan kepala sekolah di ruangan kepala sekolah itu sendiri. Orang tua Draven saling menatap sebentar.
"Ibu mau saya donatur seberapa besar, saya akan sumbangkan, tapi asal jangan keluarkan anak saya ya, Bu." Ujar ibu Draven.
"Maaf, Pak, Bu. Kami sudah tidak bisa. Saya tidak ingin ada korban-korban lainnya, karena ini akan memperjelek nama sekolah juga. Kali ini saya harus tegaskan bahwa saya akan memberhentikan Draven, walaupun bapak dan ibu mau berhenti menjadi donatur sekolah kami."
Ibu Draven tampak menghela nafas, ia terlihat sangat murung kali ini. Namun, Ayahnya Draven tampak tersenyum sekarang.
"Saya mengerti perasaan ibu. Sebelumnya saya ingin berterimakasih banyak atas bantuan ibu selama ini. Tolong maafkan perbuatan yang dilakukan anak saya ya, Bu." Ujar ramah ayahnya Draven.
"Tapi sebelum itu, pak..." Kepala sekolah itu tampak mengganjal perkataannya yang membuat kedua orangtuanya Draven cukup serius mendengarkan.
"Sebelum Draven pergi, saya akan melakukan sidang terlebih dahulu atas apa yang Draven perbuat terhadap anak-anak lain. Karena korban dari perbuatan Draven adalah anak-anak itu."
Mendengar itu, ibunya Draven tampak semakin murung lemas, ia tidak mau bahwa anaknya disakiti, walaupun memang anaknya itulah yang salah. Namun ia adalah seorang ibu, tetap tidak rela jika anaknya kenapa-kenapa.
Melihat kondisi ibunya saat ini, di dalam lubuk hatinya ia sangat tidak tega. Dari dulu ia sangat tidak suka jika ada yang membuat ibunya sedih, namun sekarang justru dialah yang lebih sering membuat ibunya sendiri merasa sedih.
"Lakukan apa saja, Bu. Saya akan terima." Ujar ayahnya. Tentu itu membuat Draven sendiri terbelalak kepada ayahnya sendiri.
Ia sama sekali tidak tampak sedih sedikit pun, bahkan ia malah tersenyum. Apa ia sama sekali tidak peduli dengan anaknya? Ah, dia memang tidak pernah peduli. Itu tentu membuat amarah Draven meluap. Rahangnya mulai mengeras dan tangannya mengepal.
Melihat itu, ibunya langsung menggenggam lembut tangannya. Ia melirik ke arah ibunya. Ia melihat ibunya menggelengkan kepalanya. Itu membuatnya perlahan memudarkan emosinya. Ia tidak mau ibunya menjadi semakin tambah sedih.
{•••}
"Tuh, kan, Ra. Apa gue bilang!?"
"Tau gak, sih? Sekarang Lo jadi bahan pembicaraan anak-anak. Anjir, lah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu Itu
Teen FictionBukankah setiap manusia mempunyai waktunya masing-masing? Bukankah setiap manusia mempunyai zamannya sendiri-sendiri? Bukankah pepatah mengatakan setiap orang ada masanya? Jadi, apa yang ia lakukan terhadap waktu sampai aku bisa mengenalnya? Mungkin...