13. So'uzon aja, sih

0 0 0
                                    

Setelah beberapa usaha untuk membujuknya, akhirnya ia mau menurutiku untuk membersihkan kamar apartemennya ini. Padahal, untuk dirinya sendiri juga kenapa sesusah itu, sih.

Aku menyuruhnya untuk membersihkan apa-apa saja yang berantakan di ruang tengah itu, sedangkan aku, mencuci gelas, piring, atau apapun yang ada di wastafel dapurnya. Tidak lupa juga kardigan yang memang sedang kugunakan, lengannya kulipat agar tidak basah.

Oh, iya. Ngomong-ngomong tentang kardigan, aku sekarang ini memang lagi sering memakainya sejak beberapa hari yang lalu. Akhir-akhir ini memang sedang merasa tidak enak badan saja, sih. Mungkin karena sedikitnya waktu istirahat dari biasanya. Karena, yang biasanya aku pulang malam saat sedang eskul atau sedang main dengan Ririn dan Syifa saja, kini hampir setiap hari sampai rumah sudah malam hari.

Emm.... Mungkin memang bisa dibilang setiap hari bukan hampir lagi. Kalau tidak ikut dengan Draven untuk mengajarinya, aku menghabiskan waktuku dengan Reyhan dari sehabis pulang sekolah, itu juga dia yang langsung mengajakku. Kalau dipikir-pikir, aku jadi jarang main dengan Ririn dan Syifa.

Keran itu mulai ku matikan, tidak lama Draven muncul dengan kantung plastik hitam yang lumayan besar.

"Ra, gue udah selesai, nih," Ujarnya mengangkat kantung plastik yang sudah terisi itu menunjukkannya kepadaku.

Aku menoleh lalu mengukir senyum hanya untuk sekedar apresiasi terhadap dirinya.

"Kalau gitu, sekarang bersihin lantai pakai penyedot debu punya lo itu."

Draven tampak menghela nafas beratnya seraya menjatuhkan kantung plastik itu. Aku mengerti dia pasti malas.

"Gak bakal capek bersihin lantai cuma pakai penyedot debu doang. Lagian, lo punya penyedot debu gak dipakai buat apaan?"

"Iya iya," Pasrahnya.

Di saat Draven sibuk membersihkan sela-sela ruangan, aku membersihkan lemari rak yang bahkan ada debunya. Kukira apartemen mewah seperti ini tidak ada sama sekali debu, ini mah sudah definisi pemiliknya yang malas. Aku mengangkat sebuah foto yang sepertinya Draven saat masih kecil dengan ibunya. Aku membersihkannya dengan kemoceng yang kupegang, sampai akhirnya kaca dari bingkai foto itu tampak mengkilap.

Tanpa sadar aku mengukir senyum tipis di wajahku. Mungkin karena melihat kebersamaan Rav dengan ibunya, atau karena Rav kecil lebih tampak ceria ketimbang sekarang? Namun, ada yang membuatku heran, di sini tidak ada foto dengan ayahnya sama sekali. Aku mengerti, sih rasa bencinya itu dengan ayahnya.

Aku memulai membuka salah satu lacinya, cukup terkejut melihat ada beberapa foto di dalamnya. Sebenarnya aku tidak terkejut dengan foto ini yang tidak terpajang seperti yang lain, aku hanya terkejut siapa orang di dalam beberapa foto itu. Di sana ada sebuah foto yang di dalamnya terdapat dirinya, ibunya, dan, ayahnya. Bahkan foto yang sedang berdua dengan ayahnya saja pun ada di sini.

Ternyata, sebenci-bencinya dengan ayahnya, ia masih menyimpan foto-foto kebersamaannya dengan lelaki yang sangat ia benci itu.

Setelah kami selesai dengan kesibukan kami masing-masing dan apartemennya pun jauh terlihat lebih baik dari sebelumnya, mie instan dengan telur pun berhasil menjadi sebuah bayaran yang cukup setimpal untuk usaha kami. Memangnya, apa sih yang bisa mengalahkan kenikmatan mie instan kuah pakai telur dan saus sambal? Apalagi dengan cuaca yang sangat mendukung.

Namun, di selang sedang menyeruput mie itu, aku dan Draven saling berbagi cerita. Bukan cerita yang serius, sih. Random pokoknya, bahkan dari kenapa dia menamakan gengnya itu Oren, alias orang keren.

Aku tertawa terbahak-bahak untuk itu, apalagi saat melihat ekspresinya yang sepertinya malu sendiri dengan nama geng yang diketuainya itu. Mungkin seperti menjatuhkan harga dirinya sebagai siswa paling menonjol di sekolah kali. Namun, sepertinya anak-anak di sekolah juga tidak terlalu memikirkannya, toh mereka menganggapnya memang keren, kok.

Waktu ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang