15. Draven yang aneh

0 0 0
                                    

Aku kembali melihatnya, melihat Draven setelah tadi menghilang entah kemana. Ia tiba-tiba saja datang dan memberikan sebuah minuman berkemasan kepadaku. Aku sendiri sedang duduk di kursi panjang membasuh keringat dileher dengan handuk kecilku.

Aku berhenti sejenak dari aktivitasku untuk menerima pemberiannya, lalu Rav pun duduk disampingku. Aku menaruh handuk kecilku itu di sebelahku untuk bisa membuka minuman yang diberikan oleh Draven lalu meneguknya.

"Lo jago juga, ya bela dirinya. Pantes waktu itu bisa ngelawan gue." Ujarnya ditengah aku sedang meneguk minuman darinya.

Tidak lama Rav melihat jam yang melingkar dipergelangan tangannya. "Pulangnya kapan?"

"Bentar lagi juga pulang." Ujarku sembari menutup botol minuman itu.

"Gue anter, ya. Dikit lagi masuk waktu magrib."

Aku menggeleng, "gak usah, gue....."

"Kenapa? Ada urusan?" Potongnya cepat.

"Pokoknya kali ini gak boleh nolak. Lagian ada urusan apaan magrib-magrib begini? Apa perlu gue bilangin mama!?" Lanjutnya sedikit mengancam ku.

Kalau dipikir-pikir, kasian juga sih Draven. Selama ini dia jadi tidak pernah tahu rumahku karena aku selalu beralibi kalau aku ada urusan. Padahal kenyataannya, aku ingin bertemu dengan Rey. Namun, aku juga takut jika Rey benar-benar menungguku di gedung terbengkalai itu, apalagi jika tahu aku tidak datang. Kasian juga, kan?

Sialnya, aku tidak punya nomornya Rey untuk menghubunginya atau sekedar tahu bahwa ia dimana sebenarnya sekarang ini. Seharusnya aku meminta nomornya sejak awal.

Namun, tiba-tiba saja Rav bangkit dari duduknya.

"Gue tunggu diparkiran." Ujarnya lalu pergi dari sini.

Ngeselin banget tuh anak. Membuat keputusan tanpa persetujuan dariku.

{•••}

"Duluan, ya, Ra." Tegur Zidan yang tengah digandeng oleh pacarnya itu, lalu perempuan itu menarik lengan Zidan setelah ia selesai berucap. Wajahnya terlihat cemberut saat Zidan menyapaku.

Aku tertawa kecil melihat pacarnya yang super duper posesif itu. Lalu mengangguk untuk meresponnya.

Tidak lama, langkahku melambat sejenak setelah melihat Rav sudah stand by dengan motornya itu didekat gerbang sekolah. Ya sudahlah, hari ini aku pulang dengannya saja. Mudah-mudahan saja Rey tidak benar-benar menungguku disana.

Rav memberikan helm yang ia genggam entah sejak kapan, ia sudah siap dengan helm yang terpasang di kepalanya itu. Aku pun menerima helm darinya lalu memakainya dengan membiarkannya terpasang begitu saja tanpa ku kunci. Aku terdiam sejenak saat ingin menaiki motornya itu, lagi-lagi aku masih memikirkan Rey. Ah, dia menungguku tidak, ya?

{•••}

"Kenapa taekwondo?" Tanyanya tiba-tiba di pertengahan jalan. Mungkin untuk memutus kesunyian, karena dari tadi kami hanya diam saja sepanjang perjalanan dan hanya ditemani suara motornya yang berisik.

"Maksudnya?" Aku balik bertanya dengan kepalaku sedikit mendekat kepadanya, berniat agar ia bisa mendengar suaraku.

"Iya, kan masih ada ekskul lain. Chilliders, PMR, atau ekskul lain yang dominan perempuan?" Jelasnya dengan kepala yang sedikit kebelakang dan menyamping.

"Ouh, soal itu..." Ujarku mengganjal. Aku terdiam sejenak.

"Biar bisa bantu melindungi kakak gue." Ujarku kembali.

"Oh, jadi Lo punya kakak. Udah kerja atau masih kuliah?" Tanyanya kembali.

"Seharusnya sekarang masih kuliah."

Waktu ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang