Ternyata, berita tentang aku dan Draven sudah banyak yang tahu melalui teman-temannya Draven itu. Draven pernah menggerutu sendiri di depan temannya, lalu menceritakan apa yang Mamanya amanahkan kepadanya untuk membiarkanku membantunya untuk perubahan yang ia janjikan itu. Walaupun sebenarnya, ia sama sekali tidak menginginkannya. Bahkan ia sudah tidak peduli jika harus dikeluarkan dari sekolah ini.
Kenapa aku bisa tahu? Ya karena Draven menceritakannya sendiri kepadaku dengan gayanya itu. Salah satu temannya pun juga tadi ada yang menanyakan kepadanya tentang apa yang ia beritahu waktu itu memang benar adanya. Aku pun juga tidak tahu kenapa Draven menceritakannya kepadaku, mungkin ini salah satu perintah dari Mamanya juga untuk lebih bersikap baik dan terbuka denganku.
"Tadi, gimana, Ra?" Tanya Ririn yang aku sendiri tidak tahu ia sedang membahas apa sebenarnya.
"Gimana apanya?" Tanyaku. Kami bertiga memang sedang berjalan menuju gerbang sekolah, karena waktu pulang sudah tiba.
"Ya soal lo ke kelasnya Draven lah, Ra, apalagi emang?" Sambung Syifa.
"Ya, nggak gimana-gimana. Tadi..."
Tin tin
Suara klakson motor tiba-tiba saja berbunyi yang sepertinya terarah kepada kami. Kemudian, motor itu pun datang dari arah belakang kami lalu berhenti menghalangi jalan kami bertiga. Ternyata itu Draven, yang sedang menangkring di motor ninja-nya itu. Aku bisa tahu kalau itu dia saat ia mulai membuka kaca helmnya. Ririn dan Syifa tampak lebih diam sekarang.
"Cepetan naik! Gue gak mau Mama gue nunggu lama di rumah."
Ririn dan Syifa menatap tidak percaya kepadaku. Mungkin mereka berdua sedang bertanya-tanya dalam pikiran mereka sendiri tentang apa yang sebenarnya terjadi. Atau mungkin rasa tidak percaya mereka saat aku disuruh menaiki motor seseorang seperti Draven? Oh, iya, tentang Draven hendak membawaku ke mana mungkin menjadi salah satu pertanyaan mereka juga saat ini.
Tapi, aku hanya menghela nafasku pasrah. Ya, karena memang semalas itu rasanya. Apalagi dengan orang yang bernama Draven ini. Tidak sedikit dari mereka yang berlalu lalang pun diam-diam memerhatikan kami. Mulai terdengar sebuah suara bisikan saat aku mulai berjalan menaiki motornya Draven itu.
Namun, siapa yang peduli? Aku sudah merasa cukup malas dengan semua ini. Jika aku juga memikirkan mereka, bisa-bisa aku gila beneran.
Motor Draven mulai berjalan setelah memastikan bahwa aku sudah benar-benar menangkring di motornya itu. Kami mulai melewati gerbang sekolah. Namun, sepanjang itu, mataku tiba-tiba saja melihat seseorang yang sedang berdiri di dekat gerbang sekolah memandang ke arahku.
Itu Rey. Kami saling bertatapan dengan posisiku yang tentu saja sedang bersama Draven di motornya saat ini.
Rey terus memerhatikanku. Tatapannya terlihat lesu, alisnya pun sedikit mengerut, namun terlihat cukup serius menatapku yang mungkin sekarang sedang sedekat ini dengan Draven. Kenapa aku jadi merasa tidak tega melihatnya seperti ini, ya?
Kami hanya diam saja sepanjang perjalanan, namun cukup terkejut saat tiba-tiba ia melewati lampu merah begitu saja. Tentu saja aku tidak hanya berdiam diri.
"Lo buta atau gimana, sih? Itu lampu merah bukan hijau! Lo ngerti, kan rambu lalu lintas?" Teriakku terhadapnya agar bisa terdengar olehnya juga karena suara motornya yang cukup membuat telingaku berdenging seperti ini.
Tapi justru Draven malah menambah kecepatan motornya yang membuat suaranya semakin terdengar sangat berisik. Mungkin secara tidak langsung ia menyuruhku untuk berdiam diri saja, tidak perlu berkomentar apapun. Benar-benar ngeselin, nih anak. Aku hanya bisa berharap semoga cepat sampai ke rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu Itu
Teen FictionBukankah setiap manusia mempunyai waktunya masing-masing? Bukankah setiap manusia mempunyai zamannya sendiri-sendiri? Bukankah pepatah mengatakan setiap orang ada masanya? Jadi, apa yang ia lakukan terhadap waktu sampai aku bisa mengenalnya? Mungkin...