4. Lebih seram daripada hantu?

16 11 1
                                    

Apa jangan-jangan yang dikatakan anak-anak itu benar?

Wajahnya tampak merah seperti akan meledak. Jika dia gunung, mungkin sedari tadi sudah erupsi. Kelihatannya----ia benar-benar marah sekali. Matanya terlihat sangat tajam dan rahangnya mengeras.

Pria kaku menarik lenganku berlari membawaku pergi dari sana. Aku pun ikut berlari bersamanya. Penasaran mencoba menoleh kebelakang, ternyata Draven mengikuti kami, namun ia hanya jalan cepat. Tapi semakin kami menjauh, langkahnya perlahan-lahan berubah menjadi lari kecil.

Aku hanya terus mengikuti ke mana pria kaku membawaku pergi dengan lenganku yang digenggam olehnya. Kemudian kami berbelok dan ia mencoba mempercepat larinya selagi Draven belum terlihat di belakang. Sampai akhirnya kami berbelok lagi saat sampai di sebuah pertigaan dan berhenti di sana.

Sekarang kami bersembunyi dengan posisi berjongkok. Aku berada di belakangnya dengan lenganku yang masih digenggamnya. Sebenarnya aku tidak perlu berlari seperti ini, karena menurutku jika hanya bersembunyi itu percuma saja. Aku rasa kita lebih baik melawannya, bukan.

"Lo ngapain bawa gue ke sini?"

Pria kaku berdesis menyuruhku diam dengan merentangkan jari telunjuknya menempel di bibirnya.

Buk... Gubrak trang trang

Sepertinya kegaduhan itu bersumber dari Draven yang menendang tempat sampah sampai isinya berceceran seperti sekarang. Sepertinya ia tampak kesal karena kehilangan jejak kami berdua.

Pria kaku kembali melihat ke arahku setelah pandangannya teralihkan oleh suara kegaduhan itu.

"Saya mohon, sekali ini saja. Jangan melawan, ya. Saya tau persis Draven itu seperti apa. Kamu akan kalah melawannya." Bisiknya.

Apa-apaan maksudnya. Ia meremehkanku? Jujur mungkin ada rasa takut menerka karena faktor suasana yang entah kenapa terasa mencekam. Namun aku tidak pengecut sepertinya. Aku melepas paksa cengkraman tangannya.

"Lo ngeremehin gue?!" Begonya aku malah refleks meninggikan nada bicaraku.

Pria kaku itu berdesis kembali, namun bedanya ia sambil menutupi mulutku.

Langkah kaki Draven perlahan semakin lama semakin mendekat, sepertinya ia curiga. Pandangan pria kaku terfokus kepada di balik dinding itu. Tapi aku, mataku terbuka lebar ke arahnya. Bagaimana tidak, jarak kami sangat dekat sekarang sampai-sampai wajahnya dan wajahku hampir bersentuhan. Ditambah mulutku yang dibekap olehnya. Rasanya aku ingin memberontak melihat kondisi seperti ini, namun tidak bisa untuk sekarang.

Langkah kaki Draven semakin terdengar jelas. Gak bisa, nih kayak gini. Sepertinya kami akan ketahuan. Tapi tiba-tiba saja pria kaku melepas bekapannya dan membuka tasku. Ia mengambil tumbler-ku dan menggelindingkannya. Bagaimana ia tahu di dalamnya ada Tumbler? Apa sedari tadi ia memperhatikanku, ya.

Karena tumbler-ku itu yang sengaja pria kaku gelindingkan. Draven yang baru saja muncul, ia menginjak tumbler-nya lalu jatuh tergelincir. Sial, aku bela-belain kembali masuk ke sekolah hanya untuk mengambil tumbler-ku itu, tapi sekarang rasanya sia-sia aku memutuskan untuk kembali, tetap saja aku tidak bisa mendapatkannya. Karena apa? Karena tumbler alumunium-ku langsung gepeng.

Pria kaku itu pun langsung beranjak dan mencoba pergi dari sana. Aku masih terdiam di tempatku melihat Draven yang tengah kesakitan. Tepatnya, sih nasib tumbler-ku itu.

Pria kaku memberhentikan langkahnya, ia menoleh ke arahku. "Radita, ayo!"

Aku terbangun dari ketidaksadaran ku. Lalu ikut beranjak, kembali mengikuti si pria kaku yang aku sendiri masih tidak mengetahui siapa namanya. Ngomong-ngomong tadi ia menyebutkan namaku, kan? Dari mana ia tahu?

Ah, iya. Draven kan tadi menyebut namaku, ya.

Draven tampaknya mulai mengejar kami kembali dengan cara jalannya yang sedikit terpincang-pincang. Di saat sedang melihat ke arahnya, aku tidak menyadari ternyata di depanku ada sebuah botol bekas yang membuatku tersungkur kesandung. Pria kaku yang sedang ingin berbelok itu pun berhenti, ia berbalik melihatku.

Aku berusaha berdiri dengan cepat. Namun di saat sudah berdiri, Draven menarik pundak ku. Aku refleks memelintir tangannya.

Seharusnya aku sudah menyadari ini sejak awal. Draven adalah laki-laki, sedangkan aku perempuan. Sudah pasti kalau soal tenaga Draven lah yang menang. Ia balik memelintir tanganku.

Tapi, jangan sebut aku Radita jika kehabisan akal. Aku menendang perutnya. Satu tangan Draven mulai memegangi perutnya sendiri, sedangkan tangannya yang satu lagi masih belum mau lepas dari cengkeramannya kepadaku.

Di saat sibuk meringis, cepat-cepat aku kembali menendang ke arah kepalanya. Ia pun tersungkur jatuh. Aku kembali ingin lari pergi menghampiri pria kaku, namun kakiku dicekal olehnya yang membuatku kembali tersungkur.

Draven mulai berdiri dan berjalan ke posisi yang membuatnya berada di hadapanku. Aku kembali berusaha bangkit untuk duduk dan menumpukan lenganku di belakang.

"Gue udah bilang sama lo, kan soal ini." Ujar Draven.

Aku melirik ke arah belakangnya, tepatnya posisi di mana pria kaku berada. Aku sama sekali tidak mendengarkan Draven berbicara, fokus ku sekarang ini terarah kepada si pria kaku yang menatapku dengan tatapan sendu dan alis yang sedikit di kerutkan.

Namun, perlahan ia bergerak berjalan mundur ke balik dinding itu dengan penglihatannya yang masih terus terarah kepadaku. Lambat-laun ia menghilang dan dinding pun seperti menenggelamkannya.

Apa ia meninggalkanku di sini?

Setelah menolongku tadi, kenapa tiba-tiba saja ia pergi dengan keadaan aku sedang terpojokkan seperti ini. Kukira ia benar-benar peduli kepadaku. Apa ia merasa takut kepada Draven. Karena jika ia menolongku dan mencoba menghalangi Draven, mungkin saja ia akan kembali babak belur seperti waktu itu.

Sudahlah, mungkin memang dasarnya bahwa dia adalah----cowok pengecut.

"Sekarang lo udah tau, kan apa akibatnya?!" Suara Draven kembali terdengar saat aku memutuskan untuk tidak memikirkannya.

Ia perlahan maju ke arahku. Apa yang ingin ia lakukan terhadapku? Tentu saja aku tidak akan diam saja jika ia berani macam-macam denganku dengan kondisi sekeliling sedang tidak terdapat cahaya. Aku menendang lututnya yang membuatnya sedikit menjauh dariku.

Tampaknya Draven semakin geram. Ia mulai melangkah penuh ambisi, namun....

"BERHENTI...!"

Seorang satpam berlari datang ke arah kami, ia muncul dari belakang Draven. Di belakang satpam itu terlihat masih ada satpam lain yang lebih muda.

Satpam itu terlihat mensikut Draven sambil berbicara tegas kepadanya. Draven sempat memberontak kesal, namun sepertinya ia tidak kuasa berbuat lebih dari itu. Jika Draven lebih berani melawan, sepertinya satpam itu akan kalah.

"Eneng gak apa-apa?" Tanya satpam yang lebih muda itu.

Aku menoleh kepadanya namun sesaat kemudian pandanganku teralihkan kepada sosok jauh di belakangnya. Aku melihatnya lagi. Melihat pria kaku. Ia kembali ada di posisi di mana sebelum ia pergi.

Pria kaku terlihat tersenyum kepadaku. Apa dia yang ternyata memanggilkan satpam-satpam ini untuk membebaskanku dari Draven?

Apa ternyata ia tidak meninggalkanku, melainkan mencari bantuan. Mengingat mungkin dia sendiri tidak akan sanggup melawan Draven apalagi mengetahui dialah salah satu korban pembulian Draven. Aku jadi merasa bersalah kepadanya karena sudah berfikir buruk tentangnya. Seharusnya aku berterimakasih karena ia sudah membantuku sejauh ini.

***

Sehat-sehat selalu kaliann.....

Waktu ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang