Aku memberikan kode kepadanya agar ia masuk terlebih dahulu dan membiarkanku mengangkat panggilan ini di sini. Draven pun mengangguk lalu masuk kedalam Cafe tersebut. Tidak lama aku mencoba berdiri lebih kepinggir dari pintu agar tidak menghalangi orang untuk masuk kedalam dan mengangkat panggilan dari Ririn.
"Ra, Lo di mana?" Tanya Ririn tepat setelah aku mengangkat panggilannya.
"Gue lagi diluar."
"Oh, jadi Lo beneran lagi gak di rumah? Gue sama Syifa ada di rumah Lo sekarang. Tapi kata Bi Lilis Lo lagi pergi keluar." Jelas Ririn.
"Ya, Lo kenapa gak bilang dulu sama gue kalo mau main ke rumah?"
"Biasanya, kan Lo kalo hari Minggu gini selalu di rumah. Jadi kita langsung ke rumah Lo aja, deh." Ujarnya yang seperti sudah hafal kepribadianku. Tapi Ririn tidak salah, sih. Dia benar. Sangat benar.
"Lagian Lo pergi ke mana, sih? Kata Bibi sama pemuda. Lo serius lagi jalan sama cowok sekarang? Siapa, anjir?" Tanyanya berkali kali.
"Sama... Draven." Ujarku sambil menghela nafas untuk mengucapkannya. Memang seberat itu untuk mengatakannya.
"HAH?!" Ririn terdengar terkejut bukan main dari balik ponsel ini.
"Lo serius? Wah, gue mulai curiga. Atau jangan-jangan, selama ini Lo udah punya hubungan sama Draven, ya?!" Ujar Ririn mengada-ada.
"Duh, Rin. Jangan mikir yang enggak-enggak dulu, deh. Ceritanya tuh rumit. Gue cuma...."
"Radita?" Seseorang tiba-tiba saja menyebut namaku.
Aku tentu saja refleks menjeda perkataan ku dan langsung mendongakkan kepala. Loh, itu ayahnya Draven? Sedang apa ia di sini. Beliau tepat berada di hadapanku sekarang, ia seperti ingin masuk kedalam Cafe ini namun mengurung niatnya sebentar karena melihatku. Mengetahui itu, tanpa berfikir lama aku langsung menutup panggilannya.
"Kamu sedang apa di sini?" Tanyanya kembali.
Bukannya menjawab, aku justru melirik ke seseorang yang ada di sebelahnya itu. Wanita lain yang sedang menggandeng lengan seorang pria yang tentu saja aku mengenalnya. Aku mencoba perhatikan sekali lagi. Loh, wanita ini bukan orang yang sama seperti saat aku pertama kali lihat di rumahnya. Demi apapun, memangnya ada berapa banyak simpanannya om om yang satu ini? Gila, ya. Tidak salah jika Draven menyebutnya 'cowok brengsek'.
Aku memandang wanita itu datar, begitu juga pada pria yang ada di sebelahnya. Sebelumnya aku belum pernah memasang wajah tidak sopan seperti ini kepada seseorang yang umurnya sama dengan orangtuaku. Habis, dadaku merasa sesak sendiri melihatnya membayangkan jika aku berada diposisi mamanya Draven yang suaminya selalu gunta-ganti perempuan.
"Dia siapa, mas?" Ujar wanita murahan itu. Demi apapun aku merasa mual mendengar suaranya.
"Hanya teman sekolahnya anakku." Jawab pria itu. Wajahnya sama sekali tidak terlihat bersalah atau apapun itu.
Jika wanita ini dibandingkan dengan istrinya saat ini, tentu sangat jauh lebih unggul istrinya sendiri. Wajah mamanya Draven terlihat lebih anggun dan berkelas karena ada garis keturunan dari Belanda, tubuhnya juga terbilang bagus di umurnya yang sekarang. Jadi, jangan pernah bandingkan. Aku rasa om om yang satu ini harus ada jadwal rutin untuk pemeriksaan matanya sendiri.
Melihat respon tidak mengenakkan dariku. Mereka berdua memutuskan untuk masuk ke dalam. Selang beberapa saat, aku pun ikut masuk ke dalam Cafe itu berniat menyusul Draven yang sudah duduk di salah satu meja khusus untuk dua orang. Dia tampak sedang memainkan ponselnya.
Tidak lama, langkahku terhenti setelah melihat ayahnya Draven dan wanita itu melewati meja Draven. Aku rasa, Draven melihat pemandangan tidak mengenakkan itu. Kedua orang itu mulai duduk di salah satu meja khusus empat orang di dekat dinding Cafe ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu Itu
Teen FictionBukankah setiap manusia mempunyai waktunya masing-masing? Bukankah setiap manusia mempunyai zamannya sendiri-sendiri? Bukankah pepatah mengatakan setiap orang ada masanya? Jadi, apa yang ia lakukan terhadap waktu sampai aku bisa mengenalnya? Mungkin...