"HAH? LO SERIUS, RA!" Teriak Ririn.
"Iyaaa..." Aku sembari menggosok-gosok telingaku. Masalahnya embun nafasnya menempel juga di telingaku.
"Demi apa, sih, anjir. Jadi, nanti kemungkinan Lo sama Draven bakal punya waktu banyak buat bareng dong? Secara, kan dengan kata lain Lo bakal jadi bodyguard-nya Draven. Anak-anak yang suka sama dia bisa cemburu, tuh, Ra sama Lo." Ujar Ririn.
Aku hanya terus-menerus menghela nafas tidak ingin menghadapi ini semua. Namun, Syifa bertanya dengan pertanyaan yang aku sendiri bingung jawabannya apa.
"Tapi, Lo emang beneran serius dengan kata-kata Lo tadi, Ra?"
Aku hanya meresponnya dengan bergidik. Kan aku sudah bilang, aku juga bingung.
"Aneh Lo, Ra!" Syifa kesal dengan responku.
"Tapi kan Lo bilang, ya, Ra, soal tentang ada seseorang yang yakin Draven bisa berubah? Siapa?" Tanya Ririn
"Ada. Gak penting juga. Udah ah gue mau balik, mau mandi, mau tenangin pikiran." Aku yang langsung memakai tas lalu berdiri untuk pergi.
"Balik? Anjir, Katanya mau main dulu?" Ujar Ririn.
"Udah gak mood gue, Rin. Kapan-kapan aja, ya." Ririn menghela nafas lalu meresponku dengan mengangguk.
Aku tersenyum pertanda meminta maaf dengan mereka berdua karena membatalkannya begitu saja lalu pergi dari sana.
Aku berjalan menuju gerbang, posisiku sekarang ini masih di halaman sekolah yang lumayan penuh dengan motor-motor siswa. Tapi tiba-tiba saja, seperti ada yang bergabung berjalan bersamaku di sampingku. Aku menoleh. Heuh, ternyata dia. Iya, itu Rey. Mungkin dia yang membuatku terlibat masalah panjang ini yang tidak tahu ujungnya ke mana. Karena belum kelihatan juga. Dia tampak tersenyum yang membuatku jengkel melihatnya.
"Kenapa Lo senyum-senyum? Gara-gara Lo gue terlibat masalah yang lebih rumit tau gak! Masa gue harus jadi kayak bodyguard-nya Draven, sih." Ujarku kesal.
"Iya, aku tahu."
Dia tahu? Memangnya berita ini sudah tersebar, ya? Perasaan aku hanya baru memberitahu Ririn dan Syifa tadi, deh. Tapi, tiba-tiba saja Rey menggenggam tanganku. Aku sempat mengerutkan wajahku melihatnya, namun, ia terus tersenyum kepadaku.
Ia membawaku menaiki sebuah angkutan umum bernama angkot. Angkot itu sedang tidak begitu banyak penumpang di dalamnya. Dia mau membawaku ke mana? Kami hanya terdiam di sana dengan beberapa orang lain yang semobil dengan kami, satu bapak-bapak, dua ibu-ibu dan sisanya anak sekolah. Cukup lama angkot ini berjalan, tiba-tiba saja Rey berbicara sedikit berbisik.
"Ra, tolong berhentiin angkotnya boleh?"
Namun, waktu itu aku tidak berfikir panjang. Aku sempat melihatnya dengan tatapan bingung lalu langsung memberhentikan angkot ini sesuai perintahnya. Angkot pun berhenti. Saat turun, aku berniat untuk membayar. Namun, tiba-tiba saja Rey berbisik kembali kepadaku.
"Hari ini hari Jum'at, jadi yang naik angkutan bapak ini gratis." Ia terus saja tersenyum. Aku meliriknya bingung, gimana ia tahu?
Namun, aku tidak menghiraukannya, aku tetap kekeh ingin membayar.
"Gak usah, neng. Kebetulan hari ini hari Jum'at, jadi saya gratisin. Ya itung-itung Jum'at berkah lah, neng."
Aku tersenyum ragu lalu menarik kembali sodoran tanganku, tidak lupa juga untuk mengucapkan terimakasih. Aku menoleh kepada Rey. Ia tersenyum. Apa arti senyuman itu? Senyum kemenangan?
Angkot itu pun mulai berlalu dari hadapanku.
Kenapa aku tidak tahu, ya. Mungkin saja karena aku tidak pernah menaiki angkot jalur itu. Ya pantas saja. Namun, ada yang lebih penting dari itu. Rey membawaku ke mana ini? Aku tidak melihat apapun kecuali seperti gedung terbengkalai yang hanya terlihat atap dan tangga-tangganya saja. Seperti bangunan yang baru kerangkanya jadi, namun sudah ditinggalkan.
![](https://img.wattpad.com/cover/325361518-288-k300400.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu Itu
Teen FictionBukankah setiap manusia mempunyai waktunya masing-masing? Bukankah setiap manusia mempunyai zamannya sendiri-sendiri? Bukankah pepatah mengatakan setiap orang ada masanya? Jadi, apa yang ia lakukan terhadap waktu sampai aku bisa mengenalnya? Mungkin...