22 - TENTANG MASA LALU

114 4 0
                                    

Happy reading 💗💅🤍

***

Lewis menyelesaikan makan malamnya lalu beranjak menuju ruang tamu. Meninggalkan Yolan yang masih melanjutkan makan malam. Pria itu duduk di sofa lalu kembali melihat selembar kertas dan pandangannya menajam

Jika kalian mengira Lewis melihat surat cerai. Kalian salah besar. Lewis sudah tidak memperdulikan hal itu. Kini fokusnya hanya pada kedua putrinya. Bagaimana caranya Lewis harus mendidik mereka pada jalan yang benar.

"Pa," Viola langsung saja duduk di sebelah Lewis. Viola mendatangi Lewis karena sebelumnya Lewis ingin bicara dengannya. Sejak pulang dari rumah Gewanta, Lewis tidak menyapanya sama sekali.

Lewis tidak menyambut sapaan Viola dan langsung memberikan kertas putih dengan beberapa tulisan tinta hitam di sana.

"Sembilan puluh," ucap Lewis dingin. "Kamu lihat?"

Viola menelan salivanya kuat. Ini adalah nilai mata pelajaran Kimia dari tugasnya siang tadi. Viola tidak tahu kenapa kertas ini bisa ada ditangan Lewis. Padahal Viola sudah menyimpannya dengan rapat.

Lewis menyandarkan punggungnya di sofa. "Beberapa hari ini Papa perhatikan kamu sering keluar rumah. Bertemu dengan pacarmu itu sampai larut malam. Bahkan kamu sudah tidak takut saat meminta izin untuk tidak les privat." Lewis melirik kertas yang berada digenggaman Viola. "Kamu lihat hasilnya? Jauh dari kata SEMPURNA, Viola. Kamu sudah berani untuk memberikan nilai seperti itu pada Papa?!"

Viola hanya menunduk pasrah. Ia tahu betul kesalahannya. Lewis tidak pernah menginginkan nilai seperti ini. Lewis hanya menginginkan kesempurnaan dari semua hasil perjuangan Viola.

"M-maaf, Pa... Vio lalai.." cicit Viola. "Vio janji setelah ini gak ada lagi nilai dibawah seratus,"

Lewis berdiri dari duduknya.

"Tidak perlu berjanji tapi berusaha untuk memberikannya. Besok kamu kembali les privat sepulang sekolah. Pukul tujuh malam, kamu harus hadir les piano. Minggu depan ada festival. Papa sudah mendaftarkan kamu. Jangan kecewakan Papa!" Lewis meninggalkan Viola yang termenung sembari mencerna kata-kata Lewis. Lihat? Tanpa persetujuan Viola, Lewis langsung saja melakukan apa yang pria itu inginkan. Lewis bahkan tidak memikirkan bagaimana lelahnya menjadi Viola.

Viola merasakan sofa bergerak seperti ada seseorang yang duduk di sampingnya. Ternyata Yolan. Kakak perempuan Viola yang selalu mengerti dirinya.

Sejak selesai makan, Yolan merasa ada yang tidak beres. Langsung saja perempuan itu mengintip dari balik dinding. Lalu mendengarkan semua perkataan Ayahnya kepada Adiknya.

Yolan memeluk bahu Viola. Menyandarkan kepala Adiknya lalu mengelus pelan rambutnya.

"Capek banget, ya? Kamu sabar ya.. Kakak tahu betul perasaan Vio sekarang gimana. Kakak paham. Vio jangan sedih. Ada kakak di sini," Yolan menyeka air mata yang membasahi pipi Viola. "Selama ini Vio udah berusaha keras buat bikin Papa, Kakak dan Bunda  bangga. Tapi Vio harus lebih semangat lagi, ya? Papa gak marah kok sama Vio. Papa cuma mau Vio belajarnya lebih giat lagi. Katanya mau kuliah di UI sama kayak Kakak?"

Viola mengangguk pelan, "Vio mau..."

"Sini dengerin Kakak lagi," Yolan memegang kedua bahu Viola untuk membangunkan perempuan itu dari pundaknya. Merapikan rambut Viola yang berantakan. "Semangat ya! Kakak tahu, Vio pasti bisa. Tapi ingat, jangan terlalu keras ya belajarnya. Semampu Vio aja. Papa gak bakalan marah lagi, kok. Nanti Kakak yang bilang sama Papa ya,"

Yolan tahu betul bagaimana perasaan Viola sekarang. Karena apa yang dialami Viola juga sama halnya dengan dulu yang dirasakan Yolan. Lewis tidak menginginkan kegagalan dari kedua anaknya. Lewis hanya ingin kesempurnaan dari nilai, bakat, potensi dan segala hal harus sesuai keinginannya. Yolan dulu selalu mengeluh. Mengadu pada Ibunya yang bisa membelanya.

SHAMUDERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang