- 02 -

655 115 2
                                    

Perbedaan umurku dan Tenko ialah delapan tahun. Jarak yang sama persis antara kakak sulung dan aku di dunia sebelumnya.

Tujuh tahun yang lalu aku dan Tenko dipindahkan kepolisian demi lingkungan dan nama baru, yaitu Terushima.

Itu bukan nama keluargaku. Aku yang yatim piatu ini juga mendapatkannya berbarengan Tenko.

Terushima You dan Terushima Tenko.

“Nee-san.”

Di tahun keduaku berkuliah, aku sudah diwajibkan mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan kami berdua. Tenko yang sekarang hendak masuk SMP pun berjuang menggapai cita-citanya untuk menjadi pahlawan dengan belajar dan berlatih keras.

Kehadiranku benar-benar mengubahnya menjadi anak manis yang penurut, bukan sebagai alat All For One seperti dalam komik.

“Hmm?”

“Bisa kau potongkan rambutku?”

Aku yang sedang mengerjakan tugas kampus di akhir pekan pun menoleh, mengiyakan Tenko yang sudah membawa gunting dan kertas koran di tangannya.

“Ditegur gurumu?”

Tenko menggeleng mendengar pertanyaanku. “Ada anak perempuan yang menganyam rambutku tanpa sepengetahuanku, lalu anak-anak lain mengataiku banci.”

Rambut biru Tenko memang lumayan panjang untuk ukuran anak laki-laki. Itu hampir melewati bahunya, tetapi tidak pernah membuat Tenko cerewet atau merasa terganggu meskipun aku sudah berulang kali menawari agar rambutnya dipotong.

“Memangnya kalau dipanggil banci kenapa?” Aku terkekeh, menjepit koran di bawah lehernya. “Banci itu berjiwa berani, lho? Berani berekspresi!”

Tenko melirikku, lalu tersenyum remeh. “Nee-san terlalu positif.”

Aku tersedak mendapati ungkapan yang terdengar seperti ejekan itu. “Habisnya!—kita tidak akan bisa apa-apa kalau terus memikirkan perkataan orang lain 'kan?! Duh! Ten-chan jangan menertawaiku begitu, dong!”

Tenko tertawa. Dia menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri seraya bersenandung, hingga menyulitkanku dalam memotong rambutnya.

Melihat Tenko yang sekarang, aku merasa tidak percaya dengan komik Boku no Hero Academia yang pernah kubaca dulu. Tenko yang diubah menjadi Shigaraki Tomura, yang bercita-cita menghancurkan segalanya, sudah tumbuh sehangat mentari setiap aku membuka mata di pagi hari.

“Nanti Ten-chan mau masuk Yuuei 'kan?” tanyaku.

“Hu'um. Aku ingin jadi terkenal dan memiliki banyak uang.”

Aku tertawa. Tujuannya berubah terlalu drastis. Mungkin karena kami hidup serba kekurangan sekarang ini.

“Kalau begitu Nee-san harus lebih banyak membeli skincare agar wajah Ten-chan semakin tampan. Lalu Nee-san akan membuat klub penggemar Ten-chan, dan menjual aksesoris Ten-chan.”

“Itu berlebihan, Nee-san.”

Sekali lagi aku tertawa, memeluk Tenko yang semakin tinggi itu sudah berhasil dipangkas rambutnya sehingga terlihat rapi.

“Sesuatu yang berlebihan memang tidak baik, sepertinya Ten-chan sudah paham.” Aku menghirup rambut Tenko yang wangi stroberi bekas malam tadi, lalu terpikir bahwa kesamaan sampo kami disebabkan penghematan biaya pengeluaran. “Tetapi terkadang menjadi tamak itu lebih baik daripada tak punya keinginan apa-apa.”

Tenko kemudian melirikku yang menopang dagu di bahunya. Dia mengerjapkan mata, sementara aku mengangkat sebelah alis. “Kau tidak punya keinginan, Nee-san?” tanyanya.

Villain ShelterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang