- 05 -

457 97 8
                                    

Tidak hanya diharuskan menjalani praktik mengajar, aku juga mesti kuliah kerja nyata. Memang tidak dilaksanakan secara bersamaan, tapi tetap saja melelahkan karena aku juga harus mencari uang. Untungnya salah satu kewajiban tersebut dibebaskan hendak melakukan apa, yang jelas aku mengincar kegiatan ringan.

Tapi aku harus menghadapi anak SD dulu sebelum turun ke masyarakat yang lebih luas. Dan sekolah yang akan menjadi tempat praktikku sudah ditentukan, tentunya yang paling dekat dengan lokasi tinggal masing-masing.

“Nee-san mengajar di sekolahku?”

Aku mengangguk sambil menyiapkan nasi kepal untuk bekal Tenko. “Iya, di SD-mu dulu.”

“Kenapa setelah aku lulus kau baru ngajar di sana ....”

“Ahaha, memang kenapa?” Aku menoleh, menatap Tenko yang bertelungkup di atas meja. “Kau 'kan sudah sering kuajari?”

“Tapi rasanya berbeda.”

“Apa bedanya?”

Tapi Tenko tidak menjawab lagi, malah semakin menutup seluruh wajahnya menggunakan lengan.

Aku mendesah, lantas menggelengkan kepala. “Aku tidak akan tahu kalau kau menutup mulut begitu, Ten-chan.”

Kubawa nasi kepal ke hadapannya, sementara yang lain kumasukkan ke dalam kotak bekal Tenko. “Tapi entah mengapa Dabi mudah sekali mengerti semua maksudmu. Terkadang aku heran, sebenarnya yang saudaramu itu aku atau Dabi, sih?”

“Nee-san harus berhenti membicarakan orang tidak sopan itu,” cibir Tenko, lalu mendongak dan menatapku yang sedang melepas celemek. “Penumpang itu bahkan tidak mengabari kita tiga hari ini.”

“Kau khawatir?”

Tenko memakan sarapannya sebelum menjawab, “Aku bersyukur,” ucapnya.

Sontak aku tertawa mendengar balasannya. “Yah, aku juga khawatir. Tapi aku yakin Dabi baik-baik saja.”

Tenko membersihkan tangannya dan menatap jam di dinding, memutuskan berangkat ke sekolah barunya.

“Oh, iya. Nanti malam mau makan apa?” tanyaku.

Anak itu menoleh dan mendongak, memberikan senyuman canggung yang membuatku bingung. Kemudian Tenko menunduk, menggaruk keningnya yang sudah menjadi kebiasaan. “Aku belum memikirkannya,” ujarnya.

“Tunggu.”

Aku pun segera mengambilkan pelembab wajah dan pelembab bibirnya sebelum melewati kalender dan menyadari tanggal berapa sekarang.

Ulang tahun Tenko!

Segera aku mencuci tangan dan mengelapnya dengan tisu. Selanjutnya berjongkok dan mengoleskan pelembab wajah ke kening Tenko. Itu bukan penyakit, jadi tidak membutuhkan obat. Hanya saja, Tenko masih sulit menghentikan kebiasaannya. Terkadang saat Tenko tidur juga masih bisa menggaruknya. Tapi bukan itu masalah sekarang.

“Maaf, ya? Aku lupa ulang tahunmu.”

Akhirnya aku bicara jujur, hingga membuatnya membuka mata. Tenko memandangku cukup lama.

“Kalau begitu aku ingin kue ulang tahun,” pintanya.

Aku mengangguk, menyetujui permintaan tersebut sebelum teralihkan oleh bekas luka di bibir Tenko hasil pukulan ayahnya. Aku tahu dia merasa damai usai menghabisi keluarganya, tapi trauma itu tidak bisa padam begitu saja.

Bagaimana jika saat Tenko berhasil menjadi menjadi pahlawan terkenal, orang-orang yang mengenalinya malah membongkar masa lalunya ke publik?

Aku tidak bisa membayangkan trauma itu menghabisi Tenko yang sudah bangkit dan bersinar.

Villain ShelterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang