- 12 -

404 98 0
                                    

“Tidak bisa, You-chan.”

Tentu kami melupakan larangan tidak diperbolehkannya masyarakat biasa menggunakan bakat mereka secara bebas. Tsukauchi-san mengingatkan.

“Jadi begitu, ya ... Dabi memancingku ....”

Suara Tenko lirih sekali, tetapi aku tahu betul dia marah dan dendam abies. Dabi memanas-manasinya, menawarinya duel, padahal tahu bahwa anak yang bukan dari kelas pahlawan tak boleh menggunakan quirk mereka.

“Tapi aku yakin Dabi juga tidak ingat tentang itu, deh.” Aku menyentuh bahu Tenko hingga anak itu tersentak. “Dia pasti benar-benar ingin melawanmu, Ten-chan. Dabi tak sejahat itu dalam mempermainkan orang—mungkin ...?”

Aku mengatup mulut di akhir kalimat dengan tawa tertahan. Mendengarku yang seolah mengejeknya, Tenko mengerutkan hidungnya lucu.

“Dabi memang sejahat itu,” bisiknya.

Lekas aku menggelengkan kepala, mencoba menenangkan. “Tapi dia tidak sepengecut itu, Tenko! Dia juga sama bersemangatnya denganmu!”

Tenko semakin merengut, lalu menyenderi bahuku. Kami berjongkok di pinggir jalan, menatap transportasi yang lalu-lalang.

“Aku yakin dia sudah menyiapkan arena buat kalian nanti! Yang bermasalah cuma latihanmu saja. Dia tidak berpikir sampai ke sana.”

Tenko bergumam-gumam, sepertinya bersumpah-serapah.

“Kalau Ten-chan masih jengkel, coba hancurkan jalan di sini. Tapi setelah berhasil, Nee-san kabur duluan, ya.”

Tenko mendengkus, berdiri tanpa lupa menarik tanganku agar ikut bangkit. “Sudah lama kita tidak jalan berdua, Nee-san. Ayo pergi ke suatu tempat,” ajaknya tiba-tiba.

Kami memang sedang di luar, sih. Di trotoar setelah dari kantor polisi untuk meminta tolong pada Tsukauchi-san agar mencarikan tempat latihan, tetapi ditolak.

Aku dan Tenko bergandengan, menyusuri jalan sembarangan.

“Mau ke Mal?” tanyaku. “Kita ngadem saja.”

“Terlalu banyak orang.”

“Pantai?”

“Pasti penuh.”

“Gunung?”

“Banyak serangga.”

Kali ini aku balas menyenderi bahu Tenko, menggoyangkan lengannya yang kupeluk.

“Ten-chan puber, ya? Jadi cerewet!” godaku.

Tenko terhenyak, kemudian tertawa serak.

“Bagaimana kalau makan es krim saja? Kupikir kita harus berhemat.”

Aku mendesah lelah. “Memang apa bedanya dengan Mal? Padahal kita cuma jalan, mendinginkan kulit, dan numpang berfoto. Kalau makan di pinggiran lebih banyak ruginya, kena asap, belum lagi bisa ditabrak atau dicopet kapan saja.”

“Memang apa bedanya dengan Mal?” beo Tenko. “Bisa kejatuhan atap.”

Aku merengut, tetapi pada akhirnya mengalah. Kami mampir ke minimarket, membeli es krim dan menikmatinya dengan berjongkok di pinggir jalan.

“Omong-omong, Ten-chan, bagaimana hubunganmu dengan teman-temanmu? Kau tidak pernah membawa orang sekolah ke rumah, lho?”

“Aku sudah lelah berteman dengan mereka di sekolah, Nee-san. Ditambah lagi Iguchi selalu ke rumah.” Tenko mendengkus seraya memutar bola mata. “Orang yang kulihat itu-itu saja,” bisiknya.

Villain ShelterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang