- 07 -

446 101 1
                                    

Aku terbangun ketika mendengar suara Tenko yang mengeluh. Kubuka kedua mata dengan perlahan, lalu mendudukkan diri dan menyalakan senter dari ponsel dan mengarahkannya ke langit-langit ruangan.

Kutolehkan kepala ke kiri, menyaksikan Tenko yang menggaruk leher dan keningnya secara bersamaan menggunakan kedua tangan.

Dengan cepat kutarik dan kutahan tangannya hingga mata anak itu terbuka. Pasti Shigaraki merasa kegiatannya diganggu dan memutuskan mencari tahu.

“Nee-san?” Dia mengerjapkan mata.

“Shiga merasa gatal?”

“Huh ...?”

“Hah?”

Kami sama-sama tercengang.

Segera aku melepaskan cengkeramanku, lalu menunduk dengan perasaan bingung.

Tenko mendudukkan dirinya, menggaruk lehernya. “Siapa Shiga?” tanyanya.

“Aku juga tidak tahu!” sahutku cepat, balas menatap iris merah Tenko.

“Nee-san punya adik selain aku?”

Aku menggeleng. “Tidak, kok!”

Aku juga tidak tahu.

Aku memutuskan kembali berbaring seraya menarik Tenko ke pelukan. Kuusap rambut hitamnya yang lebat, kemudian menepuk pantatnya seperti bayi meskipun tinggi kami sudah sepantaran.

“Ten-chan satu-satunya adikku.”

Tenko mendongak. “Kalau Kakak?—Nee-san punya?”

Aku terdiam.

“Aku tidak tahu apa pun tentang Nee-san, bahkan setelah delapan tahun lewat.”

Aku memiringkan badan kami, menggenggam jari-jemari panjang Tenko yang dilapisi sarung tangan. Pasti tidak nyaman jika selalu ditutup begini. Mungkin Tenko menggaruk diri karena resah tidak bisa melepaskan bakatnya. Tetapi kalau tidak dipasang, aku takut mati olehnya hingga meninggalkan trauma lainnya.

“Aku yatim piatu, apa Ten-chan lupa?”

“Jadi Nee-san selalu sendirian sejak dilahirkan?”

“Tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Kita saling membutuhkan, Ten-chan.”

“Lalu siapa yang mengurus Nee-san?”

“Dewa.”

“Tapi Dewa bukan manusia.”

“Benar juga, ya?”

Kami berbicara sembari memejamkan mata. Tenko sudah tidak mengantuk, ini semua disebabkan mulut terkutukku. Kenapa pula aku menyebut nama Shigaraki?

“Aku senang sekali karena dulu tidak mengabaikan Tenko. Akhirnya aku punya sesuatu yang bisa kusebut sebagai keluarga dan menjaganya.” Aku membuka mata, mengusap pipi Tenko yang berisi. “Apa Ten-chan senang—karena sudah dipertemukan dengan Nee-san?"

Tenko mengangguk seraya membuka kelopak matanya. “Aku bahagia, Nee-san.”

Aku tersenyum. “Syukurlah.”

Hanya itu yang bisa kuucapkan sebagai perwakilan perasaan. Aku benar-benar bersyukur jika memang berhasil membuat Tenko bahagia. Memang siapa yang peduli dengan pahlawan? Bumi Boku no Hero ini cuma dunia sampingan. Cukup melihat senyuman dan rengutan Tenko, rasa gelisahku menghilang.

Dan selanjutnya aku termangu.

“ ... gawat.”

Sepertinya aku sungguh terkena brother complex.

Villain ShelterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang