- 03 -

553 106 2
                                    

Tidak ada yang lebih mengejutkan daripada panggilan tidak sopan, yang dilayangkan dari mulut tak dikenal.

“Oiii, kakaknya si siscon!”

Entah lokasinya menguping ada di mana, tapi aku yakin Dabi mendengar obrolanku dan Tenko di pinggir jalan pagi kemarin.

Tetapi apa maksudnya siscon? Tenko bukan anak yang sprotektif itu terhadapku, dia cuma sebatas sayang dan menghargai keberadaan saudara tak sedarah seperti diriku.

Aku yang baru pulang kerja part time dari tempat les pun dengan terpaksa melayani ketidaksopanan Dabi karena sudah terlanjur dipermalukan olehnya di trotoar malam ini.

“Tolong jangan panggil adik manisku seperti itu.”

Dabi berambut putih itu memasukkan kedua tangan dalam kantong, lalu mengangkat sebelah alisnya seakan bingung. ”Jadi kau yang seorang brocon?”

“Aku tidak!” balasku dongkol. Kemudian aku mendesah, mempertanyakan keperluannya padaku. “Ada apa?”

“Kau orang berpendidikan, bukan? Aku ingin mempelajari pelajaran SMP darimu.”

Aku mengerutkan kening, menaikkan sebelah alis. Seingatku, Dabi tidak ingin diajari dari oleh siapa pun selain ayahnya. Dia menolak bantuan yang diberikan dan selalu berusaha keras sendirian hingga tubuhnya terbakar.

“Memangnya kau tidak berpendidikan?”

“Kau mau terima, atau tidak?” tekan Dabi, tidak sopan.

Kuusap pelipisku yang berdenyut sakit. “Asalkan dibayar.”

“Kau menagih bayaran? Padahal berbagi ilmu pada orang yang membutuhkan?”

Mendengar perkataan Dabi yang sepertinya berusaha memengaruhiku, sontak membuat emosiku yang sudah lelah sehabis kuliah dan kerja ini menjadi murka. “Guru itu pekerjaan! Bukan sukarelawan!” bentakku.

”Pahlawan yang menyakiti keluarganya saja masih dibayar pemerintah, mengapa seorang guru harus membagikan ilmu yang sudah dibelinya secara gratis?!”

Dabi termangu mendengar perkataan yang tidak aku sesali karena telah kukeluarkan. Dia menatapku tidak percaya sebelum bertanya, “Apa kalian disakiti pahlawan juga? Tapi ... mengapa adikmu masih ingin menjadi seperti mereka?” ujarnya.

Aku melirik orang-orang yang berlalu-lalang dengan gigi bergesekkan, lantas mendesah jengkel. Kepalaku sudah sangat lelah.

Lagi, masalah dunia ini muncul di hadapanku. Memangnya Dabi yang sudah direlakan keluarganya dan dipenuhi api kebencian itu masih bisa diselamatkan seperti Tenko?

“Karena kalian bukan orang yang sama! Sedari awal manusia memang diciptakan berbeda! Itu tidak sulit dipahami, bukan?!”

Kutunjuk Dabi yang tercengang dengan perasaan tegang.

“Kalau kau ingin diakui olehnya seperti yang kau ucapkan tempo hari, maka jadilah lebih baik sebelum menjatuhkan namanya ke bumi!”

Pada akhirnya kalimat itu keluar. Aku menggigit bibir, sudah bulat keputusanku untuk memperbaiki mereka yang dirusak oleh bakat maupun para pahlawan.

Endeavor, kau pantas mendapat karma dari masa lalu yang kau selesaikan secara paksa itu.

Akan kubantu Dabi membalas dendam.

“Ini jadwalku. Aku harus pulang sekarang karena Tenko sudah menunggu.”

Kuserahkan buku memo keseharianku dan meminta Dabi untuk mengembalikan barang tersebut besok hari, di tempat dan jam yang sama. Namun Dabi menolak dan menahan tanganku.

Villain ShelterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang