SATU

1.4K 137 7
                                    

Hareksa membuka matanya dan mendapati dirinya tengah tidur di ranjang yang seprainya sudah di ganti dengan yang baru. Juga, tubuhnya yang sudah bersih dan mengenakan piyama bergambar teddy bear.

Sejenak ia merasa linglung, rasa sakit mendera amat menyakitkan di sekujur tubuh. Apalagi kepalanya yang kian berdenyut saat ia mencoba mengingat apa yang terjadi.

Oh! Bukankah sehabis dirinya di pakai oleh Mahesa bajingan Dharmaputra ia tertidur di lantai kamarnya? Lalu, siapa yang memindahkan ia ke tempat tidur? Ah, siapa lagi yang berani keluar masuk ke dalam kamar tanpa izinnya selain Mahesa?

Lagipula sejak ia memasuki kediaman Dharmaputra, ia sudah tak lagi memiliki privasi.

"Udah bangun lo?"

Seseorang yang tidak ia harapkan kehadirannya muncul dengan membawa mangkuk --yang entah apa isinya-- dan segelas air putih di atas nampan berjalan ke arah sisi ranjangnya.

Hareksa mengerut, "gue masih hidup?" tanyanya dengan lirih. Pertanyaan itu sebenarnya lebih di tujukan untuk dirinya sendiri.

Mahesa yang mendengarnya seketika menyeringai pada Hareksa, "apa? Lo kecewa karena masih hidup?"

Berhadapan dengan Mahesa memang di perlukan kesabaran ekstra, untung saja Hareksa sudah terbiasa jadi ia biarkan pertanyaan pemuda itu bagai angin lalu.

Hareksa menatap langit-langit kamarnya. Kenapa ia masih hidup? Harusnya Mahesa biarkan saja dirinya mati kedinginan. Ia akan sangat berterima kasih untuk itu.

"Kenapa lo nggak biarin gue mati? Seenggaknya dengan kematian gue, lo nggak akan terbeb-- akhh!"

Hareksa tersentak ketika tangan besar itu mencekiknya dengan kasar. Ia tatap nanar pemuda yang lebih tua darinya itu, lalu pandangannya perlahan melembut.

Setidaknya mati ditangan Mahesa terasa lebih baik, di banding menyayat pergelangan tangannya sendiri.

"Kayaknya di otak kecil lo yang nggak seberapa ini cuma ada kata mati, mati, dan mati, ya?" Mahesa mengetuk keras kepala Hareksa dengan sebelah tangannya yang bebas. "Lo pikir semudah itu mati?"

Kenapa Mahesa terlihat marah? Hareksa tidak mungkin sedang berhalusinasi ketika melihat kedalam manik hitam pemuda itu yang menyimpan sedikit rasa khawatir yang di tutupinya dengan baik oleh amarah.

Hareksa sentuh tangan Mahesa yang tengah mencekik lehernya. Ia mengusap pelan meminta untuk di lepaskan, beruntung Mahesa menurutinya. Ia mengenal Mahesa, menghadapinya yang sedang di balut amarah harus dengan kelembutan. Bukan dengan berteriak memaki atau pun memberontak.

Hareksa membawa jemarinya menyentuh pipi Mahesa yang sedikit tirus, mengusapnya lembut membuat Mahesa memejamkan mata guna meresapi keintiman di antara mereka berdua.

"Kita ini apa?" Akhirnya Hareksa lontarkan pertanyaan yang sudah lama ia pendam, "Mahes, lo pernah bilang gue adik lo. Tapi, nggak ada Adik yang berhubungan badan sama Kakaknya sendiri. Kita nggak pantes di sebut Adik Kakak!"

Mahesa menarik tangan Hareksa ke depan bibirnya untuk ia kecup, manik matanya menusuk tepat pada manik cokelat pemuda yang lebih muda darinya. Ia menyukai bagaimana Hareksa terbaring pasrah di bawahnya. Di bawah kendalinya.

"Jadi lo butuh nama buat hubungan kita?" Mahesa tersenyum miring, melihat binar harapan di manik pemuda yang ia klaim sebagai miliknya. Ah, betapa ia ingin kembali meniduri Hareksa saat ini juga. Sangat ingin mendengar pemuda penyuka boneka taddy bear itu menjeritkan namanya, menangis di bawah kungkungannya, "bukannya udah jelas? Lo ... cuma sekedar pemuas nafsu bagi gue."

Begitu, ya?

Hareksa mendapat jawabannya.

Melihat Hareksa hanya diam, Mahesa mengerut tak suka, "nggak ada sesuatu yang mau lo omongin?"

Dan ketika Hareksa menggeleng atas pertanyaan nya, entah mengapa Mahesa sedikit kecewa. Ia kira Hareksa akan memakinya, mengatakan kata-kata kasar seperti yang sering pemuda itu lontarkan padanya.

Hareksa sendiri merasa kegelapan semakin berusaha menariknya dari cahaya. Kekosongan itu terasa nyata. Hanya tinggal menunggu sampai batas dimana tubuhnya mati rasa.

"Itu bubur buat gue 'kan?" tanya Hareksa memilih menghentikan percakapan tentang nama untuk hubungan mereka sampai disana. Karena bila ia nekat melanjutkan, Hareksa tahu ia tak akan sanggup mendengarnya. "Gue lapar."

Seakan tersadar, Mahesa segera mengambil mangkuk bubur yang sebelumnya ia simpan di atas nakas. Belum sempat ia menyerahkan mangkuk tersebut, suara Hareksa kembali terdengar.

"Boleh nggak, gue minta lo suapin gue?" Hareksa tersenyum pada Mahesa, pemuda yang ia cintai tapi tak bisa di milikinya, "lo mau 'kan, Kakak?"

Mahesa berdecih sinis mendengarnya, tapi tetap menuruti keinginan pemuda itu. "Nyusahin lo!" Rutuknya.

Setidaknya, dengan begini ia dan Mahesa terlihat seperti Adik Kakak pada umumnya.

Baru menelan beberapa suap, Hareksa terbatuk. Mahesa yang melihatnya segera memberikan air putih pada pemuda itu.

"Pelan-pelan aja, tolol! Nggak bakal ada yang ngambil makanan lo." Mahesa berucap sembari menahan geram, tapi meski begitu Hareksa mendapati pemuda itu membersihkan sisa bubur yang ada di sekitar mulutnya.

"Makasih." Ucap Hareksa tulus.

"Hm," gumam Mahesa, lalu tatapannya bertemu dengan manik coklat yang terasa memikatnya. Ia tersenyum, "kayak bocah!"

Hareksa mendengus, lalu memalingkan wajah.

Ya, seaneh itu hubungan yang mereka jalani.

"Oh, iya, gue hampir lupa. Udah gue bilang berkali-kali kalau tidur itu di kasur, bukan di lantai!" Mahesa menuding wajah Hareksa dengan jari telunjuknya, "apalagi dalam keadaan tubuh lo yang telanjang. Lo mau masuk angin?!"

"Gue lebih suka tidur di lantai."

"Lo-- !" Mahesa sangat berhasrat menghajar wajah Hareksa saat ini juga, "berani lo ngelawan gue?"

Belum sempat Hareksa bersuara, bibirnya di bungkam oleh Mahesa. Pemuda yang lebih tua dengan kasar melumat bibirnya. Kemudian menggigit bibir bawah Hareksa membuatnya merintih.

"Mahesa!" Hareksa mendorong tubuh Mahesa setelah tautan bibir mereka terlepas. Terlihat sedikit darah yang keluar dari bibir bawahnya.

"Apa?"

"Gue benci lo!"

Mahesa terbahak keras, "emang kata itu yang gue tunggu."

Setelahnya Mahesa mengecup pelan kening Hareksa, membuat Hareksa memalingkan wajah. "Sekarang lo istirahat. Kayaknya lo demam, gue mau keluar dulu ambil obat." Katanya lalu berjalan pergi meninggalkan Hareksa sendirian.

Mahesa Dharmaputra memang pantas di juluki bajingan sialan.

Mahesa Dharmaputra memang pantas di juluki bajingan sialan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Butterfly [MarkHyuck]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang