"ANAK TIDAK TAHU DIRI!"
"Kamu benar-benar berhasil mempermalukan keluarga Dharmaputra!"
"Seharusnya sejak awal saya tidak menyetujui ketika Dilara meminta pada saya untuk mengadopsi kamu sebagai anak!"
Hareksa pejamkan mata ketika mendengar kata demi kata yang terlontar dengan penuh amarah dari belah bibir Ayah. Hatinya tersayat menyakitkan, dan seakan itu semua belum cukup untuk mencengkeram Hareksa hingga hancur tak bersisa. Disana, terlihat Ibu yang tengah duduk di sofa dengan tubuh bergetar sembari menunduk menutup wajah.
Sedangkan Mahesa, pemuda itu dengan berani berdiri berhadapan dengan Ayah dan berusaha melindunginya dari amarah Kepala keluarga Dharmaputra yang terlihat sangat murka.
Mengapa bisa terjadi seperti ini? Jawabannya adalah karena ia sudah memberikan amplop berisi surat pemanggilan orang tua itu pada Ayah. Tepat seperti apa yang berada dalam bayangan Hareksa sebelumnya.
Bukankah Hareksa benar-benar pembawa bencana untuk keluarga ini?
Hareksa tatap sekeliling yang terlihat berantakan, di lantai terdapat pas bunga yang hancur dan berserakan karena Ayah mencoba memukul Hareksa menggunakan benda tersebut. Bahkan, pelipis Hareksa mengeluarkan darah ketika Ayah memukulnya. Dan untung saja, Mahesa dengan sigap menghalau serangan yang diberikan Ayah setelahnya. Jika tidak, mungkin sekarang wajah Hareksa sudah hancur tak bersisa.
Hareksa meremat dadanya yang terasa sesak. Keluarga yang selama ini memberikan tempat tinggal juga kenyamanan pada akhirnya terlihat berantakan, dan itu semua di sebabkan oleh bajingan tak tahu diri sepertinya.
Seharusnya, ia memang tidak pernah hadir di tengah-tengah keluarga ini. Seperti yang selalu Ayah bilang, Hareksa hanyalah anak pembawa masalah.
Untuk itu, sekarang Hareksa merasa sedikit menyesal ketika dulu menerima uluran tangan mereka yang meminta dirinya masuk menjadi bagian keluarga Dharmaputra.
"Ayah, maaf." Ucapan permintaan maaf Hareksa gumamkan, karena hanya itu yang bisa ia sampaikan.
"Maaf, maaf, dan maaf!" Ayah menatap Hareksa dengan tajam, merasa sangat kecewa sebab nama keluarganya menjadi tercoreng, "apa hanya itu yang bisa kamu katakan?!"
"Papa, udah!" Mahesa mencoba menjadi benteng untuk Hareksa, "foto-foto itu semuanya nggak benar! Aku percaya Hareksa nggak mungkin ngelakuin hal menjijikan kayak gitu!" Teriaknya dengan berani membela Hareksa.
"Diam kamu, Mahesa!" Bentak Tama Dharmaputra sangat tidak suka ketika sang Anak membela pemuda yang terus menunduk di belakangnya.
Mahesa mencengkram lengan Papa yang berusaha sekuat tenaga menyingkirkannya yang menghalangi jalan pria paruh baya itu.
"Minggir! Papa harus beri pelajaran Hareksa agar dia sadar, bahwa saat ini dia membawa nama Dharmaputra di belakang namanya!" Teriak Papa dengan kasar, "sejak dia hadir, dia sudah membawa pengaruh buruk untuk keluarga kita!"
"AKU NGGAK MINTA DI LAHIRKAN KAYAK GINI!"
Teriakan Hareksa seketika menghentikan perdebatan di antara Ayah dan Mahesa. Bahkan Ibu yang tengah menangis seketika terhenti dan mendongak menatap Hareksa dengan pandangan terluka saat mendengar kata-kata itu keluar dari bibir Hareksa.
Hareksa meremat rambutnya dengan kasar, napasnya memburu. Buku-buku jemarinya memutih karena terkepal begitu erat, "Aku tau kalau aku bukan anak kandung kalian! Aku juga nggak minta kalian adopsi aku!" Ujar Hareksa dengan pedih, ia begitu terlihat frustasi, "Kenapa kalian nggak bunuh aku aja?! Biarin aku sama Papa dan Mamaku."
Hareksa sungguh tak bisa menahannya lagi. Sesaknya terasa sangat menyiksa hingga membuatnya merasa mati akan jauh lebih baik daripada hidup tertekan seperti ini.
"Ayah, selama ini aku selalu penuhi semua keinginan Ayah. Aku berusaha sebaik mungkin buat nggak mengecewakan kalian! Sejauh ini, aku udah berusaha agar layak dipandang sebagai bagian dari keluarga Dharmaputra!" Hareksa keluarkan semua keluh kesah yang selama ini ia pendam. Ia pandangi mereka yang terdiam menatapnya dengan berbagai ekspresi yang berbeda.
"Kesalahan aku cuma satu," bisik Hareksa pelan, namun masih bisa di dengar oleh mereka, "aku nggak suka perempuan. Ayah, Ibu, apa aku nggak bisa di maafkan?"
Hareksa menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan tangis, "aku benar-benar nggak minta dilahirkan berbeda. Kalau sekarang kalian ngerasa keberatan dengan keberadaan aku, kenapa dulu kalian nggak biarin aku mati?"
"Hareksa!"
Teriakan itu membuat Hareksa menoleh pada Ibu, wanita itu segera beranjak dan berjalan menghampirinya. Hareksa perlahan memejamkan mata, sudah siap jika Ibu akan memaki atau pun menamparnya. Mungkin, Hareksa memang pantas mendapatkannya.
Namun, alih-alih tamparan yang didapatnya, Hareksa malah tertegun karena rasa hangat dari pelukan Ibu yang menyapa tubuhnya.
"Bodoh! Siapa bilang kamu bukan anak Ibu? Meskipun bukan Ibu yang melahirkan kamu, Ibu tetap Ibu kamu!" Ucap Ibu sembari menangis, "dan jangan bicara seperti itu lagi! Kamu nggak punya hak bicara tentang kematian!"
"Harusnya Ibu benci aku," kata Hareksa dengan pelan. Berusaha mati-matian menahan air matanya yang akan terjatuh.
Ibu menggeleng sembari mengeratkan pelukannya, "nggak ada alasan buat Ibu benci kamu, Nak. Nggak ada."
Dan tepat setelah Ibu selesai mengucapkan itu, tangis Hareksa pecah dengan tubuh yang bergetar hebat. Ia ingin mengucapkan sesuatu, tapi bibirnya kelu untuk berucap.
Ibu tidak membenci dirinya.
"Dengar, kamu Anak Ibu," Ibu mengurai pelukan di antara mereka, lalu menangkup wajah Hareksa yang basah oleh air mata. "Ibu terima semua kekurangan kamu, Nak. Ibu cuma merasa kecewa karena selama ini kamu menyembunyikan semuanya sendirian. Apa kamu nggak percaya Ibu?"
Hareksa menggeleng, lalu menggenggam tangan hangat Ibu yang berada di pipinya, "Aku takut, Bu. Takut Ibu nggak bisa nerima aku yang berbeda."
"Maafin Ibu yang kurang mengerti kamu. Ibu minta maaf, Hareksa."
Hareksa segera memeluk tubuh Ibu, dan menghentikan semua ucapan permintaan maaf yang sesungguhnya tak pantas ia dapatkan.
Disaat Hareksa dan Ibu tengah memeluk dan menumpahkan tangis satu sama lain. Disisi lain, Tama Dharmaputra dan Mahesa terdiam melihat mereka yang menangis tanpa suara dengan pandangan yang berbeda.
Tama menatap Hareksa dalam diam. Entah mengapa sudut hatinya rasakan perih ketika mendengar semua keluh kesah yang di lontarkan Hareksa tadi. Apa selama ini anak itu sangat tertekan?
"Papa puas?" tanya Mahesa pelan.
Tama menoleh pada Anaknya yang melontarkan pertanyaan seperti itu padanya, lalu di lihatnya Mahesa berjalan mendekati Hareksa dan Istrinya, meninggalkan dirinya yang terdiam dengan perasaan bersalah dan menyesal.
Apa sikapnya selama ini sangat keterlaluan dan berlebihan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly [MarkHyuck]
RandomHareksa Dinata menyukai kupu-kupu. Itu fakta yang tidak bisa di sangkal orang lain. Sebab, dari hewan indah tersebut Hareksa banyak belajar tentang kehidupan. Seekor kupu-kupu mengingatkan kita bahwa akan selalu ada keindahan di pengujung semua rasa...