"Mahesa!"
Hareksa hanya mampu mengangkat sudut bibirnya kala melihat Alina yang berlari dengan semangat ke arah Mahesa yang baru saja pulang bersama Ibu, sedang Ayah tak terlihat keberadaannya.
Melihat Mahesa menyambut pelukan gadis itu, diam-diam Hareksa memalingkan wajah karena tak sanggup melihatnya. Sudut hatinya tetap terluka melihat kedekatan mereka, ia masih belum sekuat itu untuk menerima bahwa mereka sama-sama memiliki rasa.
Alina juga memeluk Ibu sama eratnya, mengatakan bahwa gadis itu sangat rindu pada masakan Ibu yang sudah hampir sebulan tak pernah di rasakannya lagi.
Inilah alasannya mengapa Hareksa tak bisa membenci Alina. Sebab, gadis itu sangat tulus menyayangi keluarga angkatnya.
Kini mereka tengah duduk di ruang tengah. Dengan gadis itu yang duduk di antara Ibu dan Mahesa, sedangkan Hareksa duduk sendiri di sofa tunggal.
Hareksa rasakan hangat di hatinya kala melihat Ibu tersenyum ketika mendengar celotehan calon menantunya. Hareksa juga ikut mendengarkan saat Alina menceritakan keluh kesahnya selama masa pengobatan.
Ada kalanya Hareksa merasa terasingkan.
Terkadang juga merasa iri kepada gadis itu yang dengan mudah bisa di terima dalam keluarga Dharmaputra. Di sambut dengan baik oleh Ibu, Mahesa, termasuk ... Ayah.
"Mahesa, selama aku berobat kamu nggak berbuat macam-macam 'kan?" tanya Alina setelah hanya tinggal mereka bertiga saja, karena beberapa menit yang lalu Ibu mengatakan akan istirahat di kamar.
"Berbuat macam-macam?" Mahesa melirik sekilas pada Hareksa. "Contohnya?" Pemuda yang lebih tua sedikit menantang.
Alina tersenyum miring, "misalnya ... kamu mungkin selingkuh?"
Diam-diam Hareksa mengerutkan dahi. Ada apa dengan mereka? Apa yang coba mereka sampaikan lewat percakapan yang menurut Hareksa terdengar menyebalkan itu.
Dan, Demi Tuhan! Ada apa dengan Mahesa bajingan Dharmaputra? Kenapa pemuda itu terus menatapnya?
"Hareksa."
Hareksa terkesiap ketika Mahesa tiba-tiba menyebutkan namanya. Jantungnya bertalu, ketakutan perlahan merayapinya. Tidak mungkin Mahesa menjadi bodoh dengan mengatakan hubungan terlarang mereka pada Alina, Mahesa tak akan melakukan hal itu, pikirnya.
"Mahes lo-- " ucapan Hareksa terpotong saat Mahesa kembali bersuara.
"Coba kamu tanya Hareksa. Aku nggak mungkin selingkuh, apalagi aku punya calon tunangan yang cantik kayak kamu." Diam-diam Mahesa menyeringai pada Hareksa yang terlihat menahan napas. Senang rasanya menggoda pemuda yang lebih muda, apalagi melihat sorot ketakutan di wajahnya.
"Reksa, bilang yang sejujurnya!" Tuntut Alina sembari menatap Hareksa.
Hareksa menghela napas. Ia sangat benci berada dalam situasi seperti ini.
"Dia milik lo, Alina." kata Hareksa mencoba untuk tersenyum, berharap saja semoga senyum nya tak nampak aneh, "nggak ada yang berani rebut Mahesa dari lo."
Hareksa tahu perkataannya itu sama saja seperti ia dengan sengaja menaburkan garam di atas lukanya yang masih basah.
"Kamu dengar sendiri 'kan?"
Alina tersenyum lepas, lalu memeluk Mahesa dengan erat. "Kalau Reksa yang ngomong, aku percaya." katanya sembari mengecup pelan pipi Mahesa.
Mahesa kembali menyeringai pada Hareksa yang terlihat sangat berhasrat menghajarnya hingga sekarat.
Ah, rasanya Mahesa ingin mencium Hareksa saat ini juga.
______
Hareksa benar-benar menghajar wajah Mahesa. Bukan sekali, tetapi dua kali.
Mereka berdua saat ini tengah berada di kamar Hareksa. Sedangkan Alina, sudah pamit untuk pulang ke rumahnya beberapa menit lalu.
Ia sangat puas melihat sudut pemuda itu sedikit robek dan mengeluarkan darah. Akan tetapi, memang dasarnya Mahesa sudah gila. Bukannya membalas memukulnya, pemuda itu malah terbahak dengan keras lalu berakhir memeluknya dengan erat.
Hareksa biarkan tubuhnya di peluk. Bisa ia rasakan di balik tawanya, ada sesuatu yang Mahesa sembunyikan darinya.
"Mahesa?"
Napas Mahesa sedikit menggelitik kulit lehernya, membuat Hareksa menggeliat tak nyaman.
"Ayo kita kabur." kata Mahesa terdengar melantur di telinga Hareksa, "kita bisa buat rumah yang sederhana, cuma ada kita berdua."
Terkadang Hareksa juga memimpikan hal serupa. Tapi, ia sadar betul bahwa semua hanya angan semu semata. Maka dari itu, ia mendorong tubuh Mahesa. Menatap dengan pandangan terluka, sebelum akhirnya bertanya, "mau lo apa?"
Jemari Mahesa terulur mengusap lembut pipi Hareksa, "Elo. Gue mau lo, Hareksa."
"Lo bajingan, lo tau?"
Mahesa mengangguk membenarkan.
Hareksa menggeleng tak habis pikir dengan jalan pikiran Mahesa, "apa lo nggak pernah sekali aja mikir gimana perasaan Alina saat tau kalau calon tunangannya ternyata berengsek?!"
Mahesa tersenyum putus asa.
"Dan lo juga nempatin gue dalam posisi yang sulit, Mahes!" Jari telunjuk Hareksa menuding wajah pemuda itu, "Lo bajingan egois!"
Mahesa biarkan Hareksa menumpahkan segala kekesalannya. Sebelum akhirnya ia mendekat dan kembali memeluk pemuda yang lebih muda. Hareksa tak memberontak, dan Mahesa bersyukur untuk itu.
"Lo nggak tau hampir setiap saat gue ketakutan. Gimana kalau seandainya Ayah dan Ibu tau? Apalagi Ibu, dia pasti kecewa sama gue, Mahes."
Mahesa menggeleng lalu mengusap rambut Hareksa, mencoba menenangkan pemuda yang tengah di landa panik. "Mereka nggak bakal tau, Reksa."
Mendengarnya membuat Hareksa mendorong kasar tubuh Mahesa, ia tatap nyalang pemuda yang berhasil mencuri seluruh hatinya, "lo nggak ngerti!"
"Lo yang nggak ngerti, Hareksa!" Mahesa balas berteriak, tapi sesaat kemudian ia tersadar lalu menghembuskan napas kasar. "Bukan cuma lo yang ada di posisi sulit, Hareksa. Ada di posisi gue jauh lebih sulit, dan lo nggak akan ngerti."
"Kalau begitu, ayo berhenti." kata Hareksa pelan, mencoba meredakan segala amarah yang di rasakannya. "Ayo berhenti, Kakak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly [MarkHyuck]
RandomHareksa Dinata menyukai kupu-kupu. Itu fakta yang tidak bisa di sangkal orang lain. Sebab, dari hewan indah tersebut Hareksa banyak belajar tentang kehidupan. Seekor kupu-kupu mengingatkan kita bahwa akan selalu ada keindahan di pengujung semua rasa...