Hareksa tahu hari ini pasti akan datang, hari pertunangan Mahesa dan Alina.
Sedari pagi, Hareksa mencoba tampilkan senyum walau hatinya tengah menjerit terluka. Bohong jika dia baik-baik saja, bohong jika dia mengatakan bahwa dia sudah bisa menerima. Nyatanya, Hareksa sangat ingin mengatakan pada dunia bahwa ia mencintai pemuda bernama Mahesa Dharmaputra.
Acara pertunangan di adakan di kediaman keluarga Gautama. Bahkan, sejak kemarin malam keluarga Dharmaputra sudah menginap di rumah Alina. Rumah megah bak istana milik Alina di sulap sedemikian rupa hingga terlihat elegan dan indah. Beberapa dekorasi di dominasi warna putih dan gold. Alina sendiri yang meminta karena gadis itu bilang ingin tampil dengan sempurna ketika memakai gaun berwarna putih.
Hareksa melihat raut bahagia yang terpancar dari wajah Ayah dan kepala keluarga Gautama yang tengah menyapa beberapa tamu. Tentu saja, mereka terlihat bahagia, ini adalah hari dimana dua keluarga terpandang akhirnya akan resmi terikat.
Di sudut lain, ada beberapa teman Mahesa maupun Alina yang sudah berdatangan. Sementara Jendral, Narendra, dan Jesika tadi baru saja mengabarinya bahwa mereka masih di perjalanan karena terjebak macet.
Dan untuk Mahesa sendiri, pemuda itu tengah bersama Ibu di kamar lantai atas, mempersiapkan diri sebelum acara inti di mulai. Sedangkan Alina, Hareksa sendiri sebenarnya baru saja dari kamar gadis itu. Alina pun sama tengah mempersiapkan diri, gadis itu mengatakan padanya bahwa dia sangat gugup. Dan, Hareksa katakan pada Alina bahwa gugup dalam acara penting, apalagi pertunangan gadis itu sendiri adalah hal yang wajar.
Setelahnya, Hareksa memilih keluar dengan alasan ia ingin menghirup udara segar. Dan berakhir dengan dirinya yang di minta Ayah untuk menyambut teman-teman Mahesa dan Alina, yang tidak mungkin bisa Hareksa tolak.
Hareksa tersenyum sopan pada beberapa orang yang menyapanya, diam-diam merasa muak karena harus berpura-pura tersenyum di saat dia sangat ingin berlari menjauh dari segala sesuatu yang membuat hatinya kembali terluka.
Maka dari itu, ketika melihat Ayah yang masih sibuk menyapa beberapa koleganya. Hareksa dengan cepat beranjak, melangkah pergi ke halaman belakang rumah keluarga Gautama yang ternyata terlihat sepi. Hanya ada tukang kebun, dan tiga orang pekerja lainnya yang sepertinya tengah bersantai karena memang sedari pagi sudah sangat sibuk.
Hareksa memilih duduk di kursi panjang yang tersedia di sana. Menyandarkan tubuh sepenuhnya pada kursi, sedikitnya membantu untuknya yang merasa kelelahan.
Hareksa mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sesuatu milik Mahesa yang diam-diam ia ambil di kamar pemuda yang lebih tua sebelum pergi ke kediaman Gautama. Hareksa mengamati benda itu dengan seksama, orang bilang menghisap benda ini dapat sedikitnya melepas stres. Apa itu benar?
Karena ingin membuktikannya, Hareksa membuka pembungkusnya dan menarik satu rokok keluar. Ia mengapit rokok tersebut di sela bibirnya, sementara tangannya yang lain mengambil pemantik di saku celana kirinya.
Begitu ujung rokok terbakar, ia mencoba menghisap pelan sebelum akhirnya terbatuk. Hareksa mencobanya lagi, dan sama seperti sebelumnya ia kembali terbatuk hingga matanya sedikit perih di karenakan asap rokok tersebut.
Mengapa Mahesa dan orang-orang terlihat biasa saja ketika menghisap benda mematikan ini?
Hareksa terus mengulang beberapa kali, sampai akhirnya ia mulai terbiasa. Ternyata, dengan merokok membuat Hareksa sedikitnya merasa tenang.
"Gue baru tau kalau lo sekarang ngerokok?"
Ketika mendengar suara itu, Hareksa sedikit terkesiap kemudian segera menoleh ke belakang. Ah, Narendra Jared.
"Lo ... mau?" tanya Hareksa sembari mengulurkan sebungkus rokok yang masih tersisa beberapa kepada Naren, yang langsung di tolak secara halus oleh pemuda itu, "dan untuk pertanyaan lo, gue baru nyoba sekarang."
Naren mengangguk mengerti, lalu segera mendudukan diri di sebelah Hareksa, "jangan keseringan. Bokap lo bakal marah kalau tau anaknya merokok."
"Sekadar informasi, Tama Dharmaputra bokapnya Mahesa," kata Hareksa dengan nada sarkas.
Mendengar kalimat sarkas tersebut terlontar dari bibir Hareksa sendiri membuat manik Narendra membulat tak percaya. Sungguh, yang ada di depannya ini Hareksa Dinata?
"Selain merokok, lo nggak lagi mabok 'kan?" tanya Naren sangsi. Sebab, Hareksa tidak seperti biasanya.
Hareksa tersenyum miring, "tenang aja, gue nggak sedepresi itu sampai lari ke minuman."
Ya, katakan itu pada seseorang yang mencoba merokok, padahal jelas-jelas pemuda itu sangat anti terhadap benda tersebut.
"Lo sendirian aja, Na?"
Narendra yang mengerti maksud dari pertanyaan Hareksa, maka ia segera menjawab, "Jendral lagi kumpul sama teman-temannya. Kalau Jesika, dia lagi pergi ke toilet."
Hareksa mengangguk.
Kemudian, mereka berdua sama-sama terdiam. Meresapi keheningan yang terasa menghanyutkan. Entah sudah berapa banyak rokok yang Hareksa hisap, dari banyaknya puntung rokok yang tersebar di bawah kaki mereka, Naren perkirakan bahwa Hareksa hampir menghabiskan seluruh rokoknya. Maka ketika Hareksa mencoba menarik kembali benda tersebut, Naren dengan cepat mengambil bungkus rokok dari tangan Hareksa.
"Udah," bisiknya lirih. Jujur saja, Naren tak tahan melihat Hareksa yang selalu mencoba terlihat kuat di depan mereka. "Udah, cukup, Sa. Lo berhak bahagia, laki-laki bukan cuma Mahesa."
Hareksa terhenyak mendengar ucapan Narendra. Seseorang baru saja mengatakan padanya bahwa ia berhak bahagia. Benar, orang sepertinya juga berhak bahagia.
Maka dari itu, Hareksa memejamkan mata dan menunduk sejenak, sebelum akhirnya bahu yang selalu berusaha terlihat kuat itu bergetar hebat membuat Narendra segera memeluknya dengan erat. Hareksa keluarkan semua sesak yang seminggu ini ia pendam dengan tangisan, ia sangat berharap Mahesa datang dan mengatakan padanya bahwa semua akan baik-baik saja.
"Nangis aja, nggak apa-apa." Narendra berbisik di telinga Hareksa, lengannya menepuk pelan punggung rapuh pemuda itu, "jangan merasa lo sendiri. Lo masih punya orang-orang yang tulus peduli sama lo."
Mendengar kata-kata itu Hareksa ucapkan terima kasih pada Tuhan yang telah mengirimkan seseorang sebaik Narendra dalam hidupnya. Terkadang, sering kali terbesit keinginan mengakhiri hidupnya, tetapi Hareksa mengingat kata-kata Narendra bahwa masih ada seseorang yang akan merasa kehilangan bila dirinya tak ada.
"Naren, disini sakit," kata Hareksa sembari menepuk pelan dadanya, ia mendongak menatap Narendra yang terhenyak menatapnya. Hareksa tengah melepas topeng yang selalu di kenakannya, yang sekarang Narendra lihat hanyalah seorang remaja yang terlihat putus asa, "gue udah berusaha, tapi kenapa gue masih belum bisa nerima. Tolong jawab, gue harus apa?"
Jemari Narendra menghapus air mata yang mengalir di pipi pemuda berkulit tan, ia menggeleng pelan, "Hareksa ... udah."
"Naren, apa ini hukuman dari Tuhan karena gue berbeda?"
_______
Hareksa Dinata
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly [MarkHyuck]
RandomHareksa Dinata menyukai kupu-kupu. Itu fakta yang tidak bisa di sangkal orang lain. Sebab, dari hewan indah tersebut Hareksa banyak belajar tentang kehidupan. Seekor kupu-kupu mengingatkan kita bahwa akan selalu ada keindahan di pengujung semua rasa...