ENAM

931 108 17
                                    

Terkadang Hareksa merasa bahwa Mahesa terasa dekat namun tampak asing.

Dulu, Mahesa tak seperti itu. Dan, Hareksa merasakan perubahan pada diri Mahesa semakin menjadi ketika Ayah membicarakan tentang perjodohannya. Pemuda itu mulai berlaku tak sopan padanya, dan sering melontarkan kata-kata kasar yang melukai hatinya.

Mahesa jelas tak menolak ketika Ayah meminta pemuda itu untuk di jodohkan dengan Alina, yang kebetulan memang teman kecil mereka. Akan tetapi, Hareksa mengenal Mahesa dengan baik. Meskipun bibir pemuda itu mengatakan kata setuju, sorot mata itu menunjukkan sebaliknya.

Ada banyak emosi yang Mahesa simpan dalam manik hitamnya, di sembunyikannya dengan baik oleh senyuman.

Tapi, Mahesa lupa. Bahwa Hareksa pandai menemukan sesuatu yang tersembunyi. Ada sesuatu di sana, dan Hareksa menemukannya. Itu adalah luka yang di balut oleh rasa putus asa.

Mengapa Hareksa baru sadar sekarang?

Apa sebenarnya Mahesa tak menginginkannya? Sebab, yang pertama meminta sebuah perjodohan adalah pihak dari Alina.

Mungkinkah sikap buruk Mahesa padanya selama ini adalah bentuk pemberontakannya? Mungkin ini sebabnya, Ayah selalu memperingati tentang batas di antara mereka berdua.

Tapi mau bagaimana pun, Hareksa tak membenarkan perilaku bejat Mahesa padanya. Mahesa tak tahu, trauma seperti apa yang pemuda itu torehkan padanya. Rasa cinta yang Hareksa miliki tak sama seperti cinta milik Mahesa, bukan sebuah cinta yang di balut oleh nafsu semata.

"Hareksa!"

Ketika seseorang memanggil namanya, Hareksa sedikit terkesiap. Sebab, ia tengah melamun memikirkan hubungan rumit antara dirinya, Mahesa, juga Alina.

Hareksa mengangkat sebelah tangannya untuk menyapa, membuat orang tersebut tersenyum dan berjalan mendekat ke arahnya.

"Tumben lo lepas hoodie?" tanya Narendra Jared, dan Hareksa lebih sering memanggilnya Naren. "Semenjak masuk sekolah lo nggak pernah lepas hoodie, atau pun jaket lo. Dalam rangka apa, Sa?"

Hareksa terkekeh, ia memang sering mengenakan hoodie atau jaket bila berada di lingkungan sekolah. Alasannya, karena dengan begitu bekas luka di pergelangan tangannya tertutupi dengan sempurna.

"Ah, iya! Waktu gue main ke rumah lo juga, lo selalu pakai baju panjang. Kenapa gue baru sadar sekarang?"

"Mungkin gue mau tampil dengan sesuatu yang baru?" Hareksa berucap dengan nada sedikit ragu.

Naren mengangguk, lalu maniknya menemukan sesuatu.

Hareksa terkejut ketika lengannya di tarik pelan oleh pemuda kelahiran Agustus di hadapannya, menariknya pun percuma karena Naren menahannya begitu kuat.

"Tato?" Naren menatap sebuah tato bergambar kupu-kupu di pergelangan tangan Hareksa dengan manik berbinar, kemudian ia mendongak menatap Hareksa, "sejak kapan?"

"Baru kemarin." Balas Hareksa sedikit gugup.

"Permanen?" Naren kembali bertanya sembari menatap kupu-kupu cantik di pergelangan tangan temannya.

Hareksa menggeleng, "tato temporer."

"Lo suka banget kupu-kupu, ya?"

Hareksa mengangguk.

Naren belum merasa puas, maka ia kembali mengejar dengan pertanyaan lain, "kenapa? Kupu-kupu itu asalnya dari ulat, dan lo tau kalau ulat itu hewan yang bisa buat kulit lo gatal."

Hareksa paham ucapan Naren, hanya saja ia mempunyai sudut pandang lain mengenai hewan indah tersebut.

"Kupu-kupu punya filosofi tentang sebuah kehidupan, Naren." kata Hareksa sambil tersenyum tipis, "kupu-kupu ngelewatin banyak proses sampai akhirnya dia jadi hewan cantik."

Dan Hareksa merasa, ia sama seperti kupu-kupu.

"Dan lo bisa jadi salah satu kupu-kupu cantik itu," kata Naren sembari tersenyum tulus, membuat Hareksa merasakan hangat di hatinya.

Naren mengelus pelan tato tersebut, lalu elusannya terhenti. Manik yang tadinya berbinar pun perlahan terlihat sendu. "Reksa, gue nggak tau seberat apa masalah yang lo hadapi selama ini. Tapi, gue harap lo nggak pernah menyerah."

Hareksa dengan cepat menarik lengannya. Sudah ia duga, Naren pasti menemukannya. Pemuda penyuka kucing itu adalah orang yang sangat jeli. Harusnya Hareksa tetap memakai hoodienya.

Narendra bukan orang yang bodoh, ia mengetahui bekas luka apa yang coba Hareksa tutupi dengan tato tersebut. Akan tetapi, ia tak bisa mendesak dengan meminta Hareksa untuk menceritakan apa masalah yang tengah pemuda itu hadapi.

Naren hanya sebatas tahu bahwa, Hareksa pernah mencoba mengakhiri hidupnya.

"Bunuh diri bukan satu-satunya jalan keluar," kata Naren pelan. Sebab, ia tahu hidup dalam bayangan kematian rasanya tidak menyenangkan. "Setiap kali lo ngerasa nggak layak hidup, cukup satu yang harus lo ingat. Lo ... masih punya orang-orang yang sayang, dan bakal ngerasa kehilangan kalau lo nggak ada."

Hareksa tampilkan senyum tipis untuk kata-kata yang Naren sampaikan padanya. Ia tak menyalahkan Naren yang dengan mudah berbicara tanpa tahu masalah seperti apa yang tengah di hadapinya. Karena, cara setiap orang berbeda dalam menyikapi suatu masalah.

Sungguh, Hareksa tak berharap bahwa orang lain dapat mengerti.

Mungkin untuk orang seperti Narendra Jared yang memang pernah mengalami bagaimana rasanya berada di ambang kematian, sebuah nyawa amat sangat berharga bagi pemuda itu.

Hareksa mengerti. Hanya saja, terkadang dunia sering kali tak berpihak pada mereka yang berbeda.

Melihat wajah Hareksa yang terlihat sendu, Naren jadi merasa bersalah. Maka dari itu, ia dengan cepat membelokkan percakapan.

"Lo nggak pesan apa-apa?"

Hareksa sedikit mendengus, tapi pada akhirnya tetap menyambut umpan dari pemuda penyuka kucing itu, "gue belum sempat pesan makanan."

Ia memang belum memesan apapun sejak menginjakkan kaki di kantin. Sebenarnya, Hareksa tak berniat memesan apapun. Ia hanya mencari tempat yang ramai, agar Mahesa tak bisa berbuat macam-macam padanya.

"Mau pesan apa? Biar gue ya-- SHIT!"

Naren tiba-tiba mengumpat ketika seseorang menyentil dengan keras telinganya, ia menoleh ke belakang dan mendapati wajah menyebalkan seorang pemuda.

Jendral Lijian.

Hareksa diam-diam menghela napas, melihat Jendral dan Mahesa yang tiba-tiba bergabung bersama mereka.

Sepertinya, hari yang di lewati Hareksa belum lengkap bila tak ada Mahesa di dalamnya.

"Lo nggak nunggu gue, Na?" tanya Jendral pada Naren yang di balas Naren dengan cengiran lebar.

"Lo sama Mahesa lama! Cacing di perut gue udah pada demo minta asupan." kata Naren pada akhirnya.

Jendral terlihat mendengus geli, kemudian mengusak surai pemuda penyuka kucing itu dengan kasar membuat sang empunya mengerang kesal dan melotot garang.

Hareksa yang melihat interaksi keduanya menjadi terpaku. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Jendral menatap Narendra.

Mungkinkah?

Jentikan jari Mahesa di depan wajahnya menyadarkan Hareksa dari pikiran-pikirannya yang melantur. Ia menatap Mahesa yang juga tengah menatapnya dengan sebelah alis terangkat.

"Kenapa?" tanya Mahesa sedikit khawatir pada Hareksa tampak memikirkan sesuatu yang berat. Tercetak jelas kerutan di dahi pemuda yang lebih muda kala melihat Jendral dan Narendra.

Hareksa menggeleng sebagai jawaban.

Terkadang, jika melihat sikap peduli Mahesa padanya. Sering kali terbesit dalam benaknya rasa ingin memiliki pemuda itu untuk dirinya sendiri.

Bolehkah Hareksa menjadi egois untuk sekali saja?

___________

Ada yang mau di sampaikan pada mereka?

Hareksa

Mahesa

Alina

Butterfly [MarkHyuck]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang