TUJUH

842 100 4
                                    

Keduanya terengah.

Kemudian segera meraup udara dengan rakus, ketika pasokan oksigen dalam paru-paru mulai menipis.

Hareksa menatap tajam Mahesa di hadapannya yang sesaat lalu mencium bibirnya dengan kasar. Hareksa rasakan darahnya bergejolak karena amarah, ia ingin menghajar kepala Mahesa guna mengembalikan kewarasan pemuda itu.

Hareksa mencoba melepaskan diri dari Mahesa yang menghimpit tubuhnya, akan tetapi rasanya percuma ketika Mahesa tak bergerak seinci pun saat ia mendorongnya. Sialan! Hareksa tak ingin terjebak berdua dengan Mahesa, apalagi di saat dirinya masih berada di lingkungam sekolah.

Apa yang akan terjadi bila seseorang melihat ia dan Mahesa dalam keadaan yang begitu berantakan seperti ini?

Hareksa jadi menyesali mengapa ia tak meminta bantuan Narendra atau pun Jendral?

Di kantin tadi, awalnya semua baik-baik saja. Bahkan Hareksa saat itu tengah saling mengejek dengan Narendra, yang di balas dengan ejekan serupa. Akan tetapi, begitu melihat wajah Mahesa yang menguarkan aura gelap setelah menerima telepon entah dari siapa, Hareksa tahu ada yang tidak beres.

Belum sempat Hareksa mencoba bicara pada Mahesa, pemuda yang lebih tua itu lebih dulu menariknya. Memaksa Hareksa mengikuti setiap langkah panjang yang di ambil Mahesa tanpa tahu bahwa ia sedikit kesusahan menyamai langkahnya, apalagi dengan pergelangan tangannya yang di cengkram erat, dan itu sangat menyakitkan.

Dan, disini lah mereka, hanya berdua di dalam gudang sekolah dengan Hareksa yang bersandar pada samping pintu gudang, sedang Mahesa yang berdiri di hadapannya sembari mengukung tubuhnya.

"Mahes, ini di sekolah!" Bentak Hareksa kasar.

Mahesa tersenyum miring, "gue nggak peduli, biar aja satu sekolah tau."

"Lo gila!"

"Ya, gue emang gila," Mahesa membelai lembut wajah Hareksa yang di penuhi rasa takut. Ah, seharusnya Hareksa tak perlu merasa takut bila ada dirinya di samping pemuda itu, "lebih tepatnya gue tergila-gila sama lo, Hareka."

Tubuh Hareksa bergetar ketakutan, "Mahes jangan kayak gini, gue takut."

"Ssttt ... lo nggak usah takut, gue belum apa-apain lo." kata Mahesa sembari menempelkan jari telunjuknya di depan bibir Hareksa, kemudian wajahnya mendekat untuk mencium sudut bibir pemuda yang lebih muda.

"Lepas," Hareksa masih berusaha melepaskan diri dari Mahesa yang kembali bertingkah tidak waras, "lepasin gue! Gue mau pergi!"

Hareksa berteriak kasar, sudah tak peduli bila ada orang lain di luar sana yang mendengar teriakannya karena ia ingin secepatnya keluar dari gudang.

"Kenapa lo mau pergi dari gue?" Alis Mahesa mengerut kesal, lalu setelah itu tatapannya kembali melembut ketika teringat sesuatu, "bukannya lo bilang, kalau lo nggak akan pernah ninggalin gue? Lo lupa sama janji yang udah lo buat dulu, Hareksa?"

Perlahan Hareksa berhenti memberontak ketika mendengar ucapan Mahesa. Ia mengingatnya. Dulu, Hareksa memang menjajikan sesuatu pada Mahesa. Ia pikir Mahesa sudah melupakan janji yang Hareksa buat.

"Lo boleh benci gue sebanyak yang lo mau," kata Mahesa pelan, merasa putus asa. Ia menggeleng pelan, "tapi jangan pergi."

Hareksa balas menggeleng, tak menyutujui ucapan pemuda yang lebih tua, "Dulu dan sekarang beda, Mahes. Itu janji yang gue buat saat lo belum terikat, dan sekarang lo milik Alina."

"Gue bisa milikin lo berdua."

"Jangan egois!" Sentak Hareksa kasar, ternyata berhadapan dengan Mahesa semakin mengikis kesabarannya. "Lo tau? Yang gue suka itu Mahesa yang baik, Mahesa yang punya rasa tanggung jawab. Bukan Mahesa yang ada di hadapan gue sekarang, lo berengsek! Lo bajingan! Dan, lo cuma mentingin diri lo sendiri tanpa mikirin perasaan orang lain!" lanjut Hareksa, mengeluarkan semua unek-unek nya.

Butterfly [MarkHyuck]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang