SEMBILAN BELAS

795 81 20
                                    

Setelah pergi meninggalkan UKS, Mahesa memilih menyendiri di rooftop sekolah. Ia merasa kecewa sebab Hareksa tak mempercayainya.

Ia begitu mengkhawatirkan Hareksa, tapi apa yang ia dapatkan?

Mahesa tak mungkin menuduh orang tanpa alasan yang jelas. Saat ini, mungkin dirinya tak mempunyai bukti jika Alina adalah orang yang menempelkan foto-foto itu dimading. Namun, ia yakin bahwa gadis itu yang melakukannya. Mahesa masih mengingat pada malam pertemuan mereka, jelas-jelas gadis sinting itu mengancamnya jika ia tidak menuruti ucapannya.

Dan, pada malam itu juga Mahesa dengan tegas menolak. Ia bahkan berencana untuk membatalkan pertunangan mereka. Mahesa merasa jika Alina tidak akan pernah berani melakukan itu, selama ini gadis itu hanya bisa menggertaknya saja. Namun, ternyata Mahesa salah. Gadis itu lebih gila dari apa yang bisa Mahesa bayangkan.

Lalu, pagi harinya, satu sekolah heboh dengan beredarnya foto-foto tidak senonoh Hareksa yang ada di grup sekolah juga tertempel di papan mading. Jelas saja, bahwa orang yang pertama kali Mahesa curigai adalah Alina.

Ketika mengingat kembali apa yang terjadi di UKS, dimana Alina menangis dengan terus berkata bahwa bukan dia orangnya. Sejujurnya, Mahesa sempat merasa goyah. Sebagian dari dirinya mengatakan bahwa memang bukan gadis itu yang melakukannya. Namun, sebagian lagi dengan tegas membantah. Alina adalah gadis yang manipulatif, bisa saja ia berkata dengan yakin sembari mengeluarkan air mata agar bisa menarik simpati orang.

Mahesa menyugar rambutnya dengan frustasi.

Mahesa ketakutan. Meskipun Hareksa mengatakan bahwa pemuda itu tak takut pada pandangan orang tentang dirinya, tapi Mahesa tahu jika Hareksa berusaha menekan rasa takut itu agar tak terlihat lemah.

Bukankah Mahesa sudah gagal melindungi orang yang ia cintai?

"Tes!"

Dahi Mahesa mengernyit kala mendengar suara tersebut.

"Perhatian! Panggilan kepada siswa bernama Hareksa Dinata dari kelas sebelas untuk segera datang ke ruang kepala sekolah sekarang."

"Saya ulangi, panggilan kepada siswa bernama Hareksa Dinata dari kelas sebelas untuk segera datang ke ruang kepala sekolah sekarang. Terima kasih."

Begitu pengumuman itu selesai di ucapkan, Mahesa mengumpat sejadi-jadinya. Ia dengan cepat berlari, menuruni tangga dengan tergesa. Seharusnya ia tak meninggalkan Hareksa dalam keadaan seperti ini, seharusnya Mahesa tetap berada di dekat pemuda itu untuk memberinya ketenangan juga kekuatan.

Ia tahu bahwa mungkin saja kepala sekolah akan bertanya banyak hal pada Hareksa terkait kasus yang tengah ramai di bicarakan dalam grup sekolah.

Karena terlalu terburu-buru, Mahesa tak menjaga dengan benar keseimbangan tubuhnya, mengakibatkannya tergelincir dan berguling di tangga. Mahesa melindungi kepalanya menggunakan tangan, guna menghindari cidera pada kepalanya.

Mahesa meringis sakit begitu ia tergeletak di lantai. Namun, saat ini bukan waktunya untuk meratapi rasa sakitnya. Ada hal yang lebih penting untuk ia lakukan. Mahesa mencoba berdiri walau tubuhnya terasa remuk. Lalu, ketika ia memegang dahinya ada sedikit darah di telapak tangannya, mungkin saja tadi terbentur. Entah, Mahesa tak begitu mengingatnya.

Mahesa berjalan dengan sedikit pincang menuju ruangan Kepala sekolah. Sepanjang ia melangkah melewati koridor yang tampak sepi, karena kegiatan belajar mengajar masih berlangsung, jantung Mahesa berdetak sangat cepat.

Ketakutan merayapi seluruh tubuhnya.

Langkah Mahesa melambat begitu netranya menangkap kehadiran Narendra, Jendral, dan Jesika yang berdiri dengan kepala menunduk di dekat ruang Kepala sekolah. Ia hampiri mereka yang secara serentak mendongak menatap ke arahnya.

Butterfly [MarkHyuck]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang