EMPAT BELAS

781 85 10
                                    

Ayah benar-benar murka.

Maka ketika Mahesa pulang keesokan harinya, tanpa menunggu lagi Ayah melayangkan beberapa pukulan pada wajah Mahesa. Sedangkan Mahesa, pemuda itu hanya diam menerima.

Ibu sudah menangis histeris dalam pelukan Hareksa. Ibu meminta Ayah berhenti memukuli anaknya. Lagi pula, tidak ada seorang Ibu yang tega melihat anak yang di besarkannya dengan kasih sayang menerima pukulan, terlebih lagi yang memukul adalah Ayahnya sendiri.

Hareksa masih menahan Ibu yang terus memberontak. Ia ucapkan kata maaf berulang kali ketika tak bisa berbuat apa-apa, karena ini semua perintah Ayah yang meminta mereka untuk tidak ikut campur.

"Tama, udah! Kamu mau buat anak aku mati?!" Teriak Dilara terdengar pilu, ia menatap Hareksa, "tolong lepasin Ibu, kamu nggak lihat Kakak mu sekarat."

"Ibu, maaf." Ucap Hareksa sembari menundukkan kepala.

"Arghhh! Mahesa pergi, Nak! Pergi!" Dilara kembali berteriak melihat wajah Mahesa yang sudah babak belur, terlihat sudut bibirnya sobek hingga mengeluarkan darah membuat hatinya terluka, "tolong berhenti," di akhir kalimatnya Dilara berkata lirih.

Hareksa pun tak kuasa melihat Mahesa yang tetap diam menerima semua kemarahan Ayah memilih membuang wajah. Tubuhnya bergetar kala mendengar suara tawa Mahesa yang terdengar putus asa.

Bodoh, pikir Hareksa.

Di tengah kemarahan Ayah, masih sempat-sempatnya pemuda itu tertawa. Maka ketika tawa itu mengudara, pukulan di wajah kembali Mahesa terima.

"Anak tidak tahu diri!" Bentak Ayah yang melihat Mahesa yang berjalan sempoyongan, "kamu pikir apa yang coba kamu lakukan, hah?!"

"Pa, aku nggak bisa." itu kata pertama yang Mahesa ucapkan.

"Papa tidak mendidik kamu menjadi pecundang! Beraninya kamu pergi di tengah acara. Dimana tanggung jawab kamu sebagai laki-laki, Mahesa?!"

Mahesa merasakan kebas di wajahnya. Ia tatap seseorang yang selalu menjadi panutannya, Mahesa selalu berucap bangga ketika memiliki Ayah seperti Tama Dharmaputra. Papa menyayanginya, Mahesa tahu itu. Hanya saja, Mahesa benar-benar tak bisa.

Setidaknya, tolong berikan dia kesempatan untuk mencoba memperjuangkan seseorang sepeti Hareksa Dinata.

Maka dari itu, dengan langkah pelan ia ambil mendekati Papa. Berdiri berhadapan dengan dengan sang kepala keluarga Dharmaputra yang tengah menatapnya dengan pandangan tajam.

"Sebenarnya Papa udah tau 'kan?" Mahesa mengunci manik sang Papa yang menampilkan sorot datar, "aku punya perasaan lebih dari seorang Kakak ke Hareksa." bisiknya lirih agar Mama maupun Hareksa tak dapat mendengarnya.

Melihat Papa tetap terdiam, Mahesa menyimpulkan satu hal. Tama Dharmaputra mengetahui hubungan terlarangnya dengan Hareksa.

"Aku jatuh cin-- "

"MAHESA!" Teriak Tama sembari menampar wajah anaknya. Segala macam pikiran buruk menghantui kepalanya. Ia hanya seorang Ayah yang menginginkan kebaikan untuk putranya.

Tama bisa mengabulkan semua keinginan Mahesa, tapi tidak dengan membiarkan Mahesa memiliki Hareksa. Hati seorang Ayah tidak akan pernah bisa menerima jika suatu saat nanti pandangan menghakimi dan rasa hina di terima anaknya.

Mahesa hanya belum tahu, cara dunia bekerja begitu kejam pada mereka yang memilih berbeda.

"Apa yang salah dari rasa yang aku punya, Pa?" Mahesa bertanya dengan putus asa.

Tama segera menangkup wajah Putranya yang sudah di penuhi lebam, ia mengusap darah yang mengalir di pelipis Mahesa. "Dengar, Papa baik-baik, Mahesa. Yang kamu rasakan saat ini hanya perasaan semu yang akan memudar seiring berjalannya waktu." bisiknya pelan, sebab tak ingin sampai sang Istri mendengarnya.

Butterfly [MarkHyuck]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang