DELAPAN BELAS

787 86 23
                                    

Setelah kejadian Hareksa yang menumpahkan tangis, dan membiarkan Mahesa, Narendra dan Jendral melihat sisi rapuh pemuda yang lebih muda, Mahesa memutuskan membawa Hareksa ke UKS untuk beristirahat sejenak.

Sebab, saat ini Hareksa sangat membutuhkan ketenangan sebelum melewati badai yang telah menanti pemuda itu di depan sana.

Mahesa menghela napas melihat Hareksa terdiam dengan pandangan kosong, lalu tatapannya ia alihkan pada Narendra dan Jendral yang memang memilih membolos dan menemani Hareksa yang terlihat masih terguncang.

Mahesa biarkan Hareksa duduk di bangsal UKS, sementara ia berjalan mendekati Narendra dan Jendral yang tengah duduk di kursi yang memang tersedia di dalam ruangan itu. Mahesa sengaja mengambil tempat duduk di sebelah Narendra, agar bisa mengawasi Hareksa yang saat ini masih terdiam sembari menundukkan kepala.

Foto-foto itu, Mahesa mengepalkan jemarinya ketika ingatannya kembali terlempar pada beberapa waktu lalu saat ia mendapati orang-orang berkerumun memaki pemuda yang lebih muda, terlebih emosinya langsung tersulut saat melihat Hareksa yang menerima tanpa melawan dengan tubuh yang bergetar hebat.

Mahesa merasa ia masih belum bisa melindungi Hareksa dari kejamnya ucapan-ucapan mereka yang terlontar dengan penuh rasa jijik juga hina. Ia terlambat, seharusnya Mahesa ada di sana tepat waktu. Mahesa juga sangat percaya bahwa Hareksa-nya tak mungkin melakukan hal seperti itu, pemuda yang lebih muda tak mungkin berciuman dengan orang lain selain dirinya. Mahesa mengenalnya dengan sangat baik.

"Kalau gue tau siapa orang sinting yang nempel foto sampah itu di mading, nggak bakal gue biarin hidupnya tenang!" Narendra mengawali pembicaraan dengan emosi yang menggebu. Melihat temannya yang terlihat tertekan seperti sekarang, rasanya Narendra tak bisa berhenti mengutuk orang yang dengan berani melakukan tindakkan seperti itu.

"Mungkin yang nempel foto di mading salah satu cewek yang pernah Hareksa tolak? Menurut lo gimana, Sa?" tanya Jendral, memberikan asumsinya pada Mahesa.

Narendra yang mendengarnya mengangguk, menyetujui ucapan Jendral. Sementara Mahesa, ia tengah merenung dengan pikiran  tertuju pada seseorang yang mungkin saja adalah dalang di balik semua kejadian ini.

"Gue udah tau siapa orangnya." Kata Mahesa dengan pandangan yang mulai menajam.

Ternyata, ucapan itu tak hanya mengejutkan Narendra dan Jendral, tetapi juga Hareksa. Hareksa yang tadinya masih menundukkan kepala seketika mendongak menatap Mahesa yang juga tengah menatap ke arahnya.

"Siapa?" Itu kata pertama yang Hareksa ucapkan setelah sekian lama terdiam.

Bibir Mahesa sudah terbuka ingin mengucapkan satu nama, namun di urungkannya kala mendengar pintu UKS yang terbuka dengan sangat keras. Empat orang yang berada di ruangan itu sontak menatap kearah pintu yang terbuka lebar, dan mendapati Jesika yang tengah berdiri dengan wajah memerah sembari terengah.

"Kak Reksa!" Jesika segera menghambur pada Hareksa yang sedikit tersentak kala gadis itu memeluknya dengan sangat erat, "Kakak baik-baik aja?"

Mendengar pertanyaan itu, Hareksa menghembuskan napas berat. Ia tahu bahwa pertanyaan gadis itu merujuk pada kejadian tak terduga yang menimpa dirinya.

"Gue nggak apa-apa."

Selain takut mengenai Ibu yang pada akhirnya akan mengetahui tentang orientasi seksualnya yang menyimpang, selebihnya Hareksa merasa bahwa ia baik-baik saja. Bukankah sudah Hareksa katakan, bahwa ia tak peduli dengan pandangan orang lain terhadap dirinya.

"Aku nggak nyangka kalau ada orang yang tega ngelakuin itu. Apa orang itu nggak mikir dampaknya bakal gimana?!" Jesika berkata seperti itu sembari berusaha menahan kesal.

Butterfly [MarkHyuck]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang