Pria tua tampak menatap ke arah luar jendela dengan tatapan menerawang.
Tak ada yang tahu apa yang ada didalam isi kepalanya. Hembusan napas lelah keluar dari mulutnya, seperti ada beban yang mengganjal di hatinya.
Keangkuhan dan keegoisan dirinya di masa lalu membuatnya terpuruk di masa sekarang. Bukan hanya terpuruk, tapi juga kesepian. Harta melimpah yang ia punya tak bisa membuatnya bahagia sama sekali. Hatinya terasa kosong. Benar-benar kosong.
Rasa penyesalan semakin hari semakin bertumpuk. Tak tahu kapan semua ini akan berlangsung. Mungkin sampai dia mati.
Tok! Tok! Tok!
Pria tua itu menolehkan kepalanya. "Masuk!"
Seorang asisten rumah tangga membuka pintu dengan hati-hati. "Sarapan sudah siap pak," ujarnya.
"Iya," sahut pria tua itu.
Pria tua dengan setelah jas mewah berjalan dengan langkah tegas menuruni anak tangga. Rumahnya begitu luas dan megah, namun terasa dingin dan sepi. Tak ada suara apapun kecuali ketukan sepatu miliknya dengan lantai marmer.
Sesampainya di ruang makan, pria itu duduk di kursi paling ujung, mejanya sangat panjang, namun tidak ada siapapun lagi kecuali dirinya sendiri.
Pria tua itu sarapan roti dengan tenang dan tampak elegan.
Lukman berjalan mendekati pria tua itu. "Pak mobilnya udah siap."
Pria itu melirik Lukman sekilas. "Kamu sudah sarapan? Kalau belum, sarapan dengan saya di sini."
"Sudah pak, lagian saya nggak biasa sarapan roti, maklum perut kampungan," sahut Lukman.
"Sarapan apa kamu tadi?"
"Nasi goreng buatan anak saya pak," sahut Lukman.
"Anak? Terus dimana istri kamu? Apa dia tidak bisa masak?"
"Iya pak anak saya yang masak, kalo istri saya sih bisa masak, tapi dia udah lama meninggal," sahut Lukman tampak santai.
"Maaf," sahut Tomi dengan ekspresi menyesal.
"Nggak pa-pa pak, saya juga udah ikhlas," sahut Lukman.
"Kalo gitu kamu duluan saja ke mobil, nanti saya menyusul," sahut Tomi. Seorang konglomerat yang menjadi majikan Lukman saat ini.
"Baik pak," sahut Lukman lalu pria itu berjalan menjauh.
Setelah kepergian Lukman, Tomi kembali merenung saat melihat kursi kosong di depan matanya. Mendadak ia tak nafsu makan sama sekali. Ia meletakkan roti ke piring dengan lesu. Ingatan puluhan tahun silam mendadak kembali. Dimana saat itu istri dan kedua anaknya masih ada di rumah ini. Mereka memang bukan keluarga yang suka bercanda, bahkan terkesan kaku.
Dulu Tomi tidak terlalu memperhatikan istri dan anaknya, hidupnya hanya untuk pekerjaan saja. Memang Tomi ini memiliki ambisi yang sangat kuat untuk menjadi orang kaya, meskipun dulu ia sudah termasuk orang yang berkecukupan. Namun, ia merasa tidak puas kalau belum berbisnis di bidang yang lain. Tomi ingin menguasai berbagai macam bisnis. Tak heran bila pria itu sering keluar negeri dan jarang menghabiskan waktunya di rumah bersama anak dan istri.
Selain ambisius, Tomi juga termasuk ayah dan suami yang otoriter. Semua perkataannya harus dituruti oleh anak dan istrinya. Tidak boleh ada yang berani menentangnya. Semua itu Tomi lakukan agar keluarganya dihormati oleh orang lain.
Tidak ada kebebasan sama sekali didalam diri istri dan kedua anaknya. Apapun yang mereka lakukan atas perintahnya, tanpa terkecuali. Dari pendidikan sampai teman bergaul. Jadi kedua anaknya tidak bisa sembarangan berteman dengan siapapun. Hanya orang-orang yang dapat memberikan keuntungan saja yang boleh berteman dengan anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zion
Teen Fiction( Cerita yang terinspirasi dari mimpi ) jadi dilarang plagiat❗ Tangisan Arum membuat Zion si ketua geng turun tangan. Berandalan berambut putih itu menghajar siapa saja yang menyakiti gadisnya. Rank # 1- ketuageng (10 Agustus 2022) *** Sebuah cerita...