27. Tidak Direstui

31 3 0
                                    

***
Pilihan cukup sulit harus Zion ambil. Kakeknya ternyata begitu licik. Pantas saja bisa menguasai berbagai bisnis. Memaafkan bukanlah hal yang mudah, apalagi ia harus kehilangan ibunya karena pria tua itu. Bukan bermaksud untuk menyalahkan takdir, tapi setidaknya jika pria tua itu mau meminjamkan uangnya yang banyak itu kepada ayahnya untuk berobat ibunya. Hal buruk itu tentu saja bisa dicegah.

Padahal ayah datang bukan untuk meminta uang secara cuma-cuma, tapi meminjam. Ayah bahkan berjanji akan mengembalikannya. Bukannya mendapat pinjaman, ayah malah mendapat hinaan dan cacian. Pria tua itu merendahkan menantunya sendiri. Menganggap kalau menantunya tidak becus dan menyalahkan anaknya sendiri yang memilih menikah dengan pria miskin sepertinya.

Hari itu Zion menemani ayahnya dan mendengar semuanya. Sebagai anak yang tak ingin melihat ibunya kesakitan dan melihat ayahnya merendahkan harga dirinya, sampai berlutut, untuk meminta belas kasihan mertuanya, tentu saja ia merasa sakit hati.

Uang tak didapat, justru mereka diusir dengan hina. Bak kotoran yang tak pantas berada di rumah besarnya. Kesombongan dan keangkuhan kakeknya membuat Zion menaruh amarah yang begitu besar sampai detik ini.

Dan kini pria tua itu meminta maaf, sayangnya sudah terlambat. Ibunya sudah meninggal, dan ia kini menjadi anak piatu. Kehilangan ibu sungguh menyakitkan. Sekarang Zion merindukan masakan ibunya, omelan ibunya dan teriakannya. Apakah dengan uang ia bisa mendapatkan semua itu?

Tidak!

Terlalu sakit yang Zion rasakan, bertahun-tahun rasanya belum cukup bisa membuatnya memaafkan pria tua itu. Hanya saja, tawaran pria tua itu sungguh sangat menarik, menjadikannya tunangan Arum.

Akan tetapi benarkah ayah Arum tak menyukainya?

Semua itu patut Zion cari tahu terlebih dahulu. Atau jangan-jangan ucapan pria tua itu hanyalah bualan semata. Kalau belum dicoba bagaimana ia bisa tahu. Maka dari itu Zion mencoba mendatangi rumah kakeknya. Lebih tepatnya menjemput Arum untuk diajak jalan-jalan.

Dengan mengenakan kaos putih, jaket denim hitam, dan celana sobek dibagian lutut Zion nekat mendatangi rumah besar penuh trauma itu. Tidak seperti sebelumnya--- menaiki pagar atau lewat jalur belakang. Kini Zion berdiri di depan gerbang tak lupa memencet bel rumah. Satpam waktu itu langsung membukakan pintu untuk cucu majikannya. Ia pun menyambutnya dengan ramah. Tak lupa tersenyum dan membungkukkan badan sejenak, menyapa pewaris kekayaan satu-satunya dari majikannya.

"Silakan masuk den."

"Gue ke sini mau ketemu sama ayahnya Arum, bisa bapak panggilin," ujar Zion yang memilih menunggu di pos satpam.

"Iya den, ngomong-ngomong aden bisa nunggu di dalem."

"Nggak usah, gue nunggu di sini aja."

Sayangnya saat satpam itu hendak menemui Lukman ia bertemu lebih dulu dengan majikannya.

"Ada siapa?"

"Itu tuan, cucu tuan."

"Oh Zion dateng, suruh dia masuk."

"Udah tuan, tapi den Zion nggak mau, dia malah nunggu di pos satpam."

"Kalo begitu biar saya yang ke sana."

"Tapi...."

"Tapi apa?"

"Aden nyari pak Lukman tuan."

"Ya sudah, kamu kasih tahu Lukman kalo ada yang nyari dia, dan satu lagi, jangan kasih tahu Lukman kalo Zion cucu saya, ngerti kamu?"

Meski bingung, akhirnya pria itu mengangguk.

Tak berapa lama Lukman datang mendekat. Raut penasarannya kini tergantikan dengan raut kecewa.

"Ada apa kamu nyari saya?" tanya Lukman tanpa basa-basi terlebih dahulu.

ZionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang