Lonely

230 25 0
                                    

******

Hari ini Tere datang sesuai janjinya, dia sedang membantuku beres-beres dan berkemas. Ada banyak barang-barang seperti pakaian, buku dan pernak-pernik dalam kamar yang akan ikut diboyong kesana. 

Pernikahan mama memang akan berlangsung satu minggu lagi, namun om Helmi sudah mengajak kami sekeluarga pindah ke Jakarta.

Katanya beliau sudah menyiapkan rumah atas nama mama, dan om Helmi ingin mama dan aku yang memilih perlengkapannya.

Entah bagaimana persiapannya, namun sepertinya hal ini memang sudah dipersiapkan oleh mama dan teh Ghina tanpa sepengetahuanku.

Aku dan mama hanya menyisakan barang-barang dalam rumah, mama mewanti-wanti aku supaya beres-beres dengan benar dan memperhatikan barang-barang yang hendak dibawa supaya tidak ketinggalan.

Ya ampun, aku benar-benar tak bisa menghentikan tangis mendengar itu.

Hanya dalam beberapa hari, kehidupanku berubah sedrastis ini.

Sambil beres-beres, seringkali aku melamun sendiri jika menemukan barang-barang yang mengingatkanku akan segala kenangan di rumah ini.

Seperti saat ini, aku menemukan papan catur usang di dalam laci lemari tv yang biasa kami mainkan.

Aku dan teh Ghina melawan papa dan mama. Kami akan saling menyerang dan meledek satu sama lain, hingga tim yang kalah terpaksa harus menraktir tim yang menang bakso Pak Kosim yang terkenal kelezatannya.

"Bri, gue baru tau lo punya gitar. Bagus juga, mau dibawa nih? Gue nemu di bawah tangga" lamunanku buyar ketika Tere menyodorkan gitar tua yang lagi-lagi membawa banyak kenangan untuk ku.

Aku menerima gitar itu, lalu ku pandangi lamat-lamat. Tere sudah berlalu tanpa menunggu jawabanku, ia kembali sibuk dengan tumpukan buku-buku.

Aku teringat hari-hari yang lalu, dengan gitar ini papa menghibur kami semua, ia yang memainkannya sedang mama yang bernyanyi lagu-lagu lawas.

Aku dan teh Ghina sebagai anak-anak yang baik tentunya antusias dan bertepuk tangan dengan semangat bila lagu berakhir. Kami berdua akan merecoki mereka berdua untuk mempersembahkan beberapa lagu lagi.

Kami bahkan menyebut bahwa mereka berdua teman duet terbaik yang pernah kami temui mengalahkan Anang dan Ashanti.

Tak terasa air mata ku keluar dengan kurang ajarnya, aku menengadahkan wajah dan berkedip beberapa kali berharap air mata nya menyusut.

Tapi, aku kesal sekali karena nyatanya, pipi ku tetap basah.

Aku mengusap dengan kasar air mata yang menggenang, meratapi kesedihan ini sendiri sampai aku menoleh dan menemukan tatapan sendu mama di tepi pintu.

Matanya sudah berkaca-kaca, raut sedihnya tidak bisa disembunyikan dari wajahnya, tubuh yang selalu terlihat kuat itu ikut bersimpuh bersama ku di antara tumpukan barang-barang yang menjadi penyebab tangisku.

Ia memeluk ku, mengusap rambutku dengan sayang. Berkali-kali meminta maaf karena sudah menyeret aku dan teh Ghina dalam keluarga yang hancur berantakan.

"Maaf.. sungguh nak.. maafin mama hiks..hiks.."akhirnya tangis yang berusaha ku redam akhirnya tumpah jua.

"A..aku sekarang b-bahagia kok Ma, sungguh.. tapi hiks... aku bingung, kenapa secepat ini.. kita .. kita.. hiks .. aku baru pulang Ma.. aku masih kangen... Sa-sama.. rumah ini" rintihku tersedu. Kami sama-sama mengeluarkan tangis dengan pilu.

Keep It SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang