"Aku kesel, Mas. Kenapa sih Papa selalu ngatur semua seenaknya sendiri? Ini kan hidup aku, kenapa selalu Papa yang atur dan semua itu harus aku lakuin?"
"Kenapa Papa enggak pernah kasih aku pilihan buat nentuin apa yang aku mau? Kenapa harus selalu Papa yang ngarahin semuanya padahal aku enggak suka? Aku cape tau gini terus dari dulu."
"Papa selalu kayak gitu semenjak Mama meninggal. Semuanya kayaknya Papa lampiasin ke aku. Kenapa sih, Mas?"
"Enggak cuman Papa yang sedih Mama udah enggak ada. Aku juga sedih. Tapi kenapa Papa lampiasin ke aku?"
"Aku cape ..."
Sedetik saat Tiara menyelesaikan kalimatnya, air matanya tumpah begitu saja tanpa bisa terbendung lagi.
Anrez langsung membawa tubuh Tiara ke dalam pelukannya. Tangannya tergerak mengelus punggung gadis itu guna menenangkannya yang sudah sesenggukan.
"Iya, Raraa. Sedih, ya? Tapi kamu enggak boleh gitu sama Papaa. Mau sesedih apapun yang Rara rasain, tetep aja enggak boleh kasar sama Papa. Nanti Papa ikutan sedih juga."
"Kamu mau bikin Papa sedih?" Tiara menggeleng.
"Jangan gitu lagi sama Papa, ya? Aku tau kamu sedih, tapi enggak gitu cara ngomong sama Papa. Lain kali ngomong yang baik sama Papa, ya?" Tiara mengangguk.
Anrez meregangkan pelukannya lalu menatap lekat wajah Tiara. Tangannya tergerak menghapus jejak air mata yang membasahi wajah gadis itu.
"Jangan nangis lagi, cantiik. Sama aku kamu harus happy terus. Ya?"
Tiara tersenyum tipis lantas menganggukkan kepalanya. "Makasih, Mas."
"Sama-sama, cantik. Kita pulang, ya."
•••
Setelah menempuh perjalanan, akhirnya Tiara sudah sampai di apartemennya. Lima menit yang lalu, Anrez baru saja berangkat ke kantornya.
Tiara merebahkan tubuhnya di kasur. Ia tengah menunggu kedatangan teman-temannya untuk membantu dirinya membersihkan apartemen yang sudah seminggu Tiara tinggalkan itu.
Syukur teman-temannya dengan berbaik hati mau membantu Tiara membersihkan apartemen.
Mereka tinggal di gedung apartemen yang sama. Kecuali Nala yang sudah bersuami dan tinggal di rumahnya sendiri.
Ting nong
Tiara segera bangkit dan berlari kecil ke arah pintu. Melihat di layar siapa orang yang datang pertama itu. Ternyata Anin.
Ceklek
"Assalamualaikum, Bu. Aduh si Ibu. Kenapa enggak minta tolong calon suaminya aja, Bu, buat bersih-bersih?" cerocos Anin.
Hm, selalu saja begitu. Anin pasti mengomel. Padahal sebelumnya ia mengiyakan permintaan tolong dari Tiara. Tapi sepertinya kurang lengkap kalau Anin tidak mengomel dulu.
"Waalaikumsalam, Bu. Kebetulan calon suami saya kerja nih, Bu. Jadi saya minta tolong ke orang-orang yang lagi nganggur aja, Bu. Kebetulan ada yang ingin saya ceritakan juga nih, Bu. MAU ENGGAK GUE CERITA?!"
Sontak Anin terkejut saat Tiara tiba-tiba ngegas diakhir kalimat. Anak laknat memang, umpat Anin.
"Asu bocah gendeng. Enggak usah ngegas jancok," kesal Anin.
"Ih, kasar. Bilangin Kay baru tau rasa lo."
"Ngadu aja lo kerjaannya. Ayo dah mulai bebersih. Kalau nunggu yang lain nanti lama beresnya," balas Anin.
"Yessss."
•••
"Jadi kenapa, Ya? Ada apa?" tanya Anin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry You ✓
Novela JuvenilSeorang gadis yang berprofesi sebagai penyanyi, model, sekaligus pemain film itu baru saja pulang dari Paris. Tiba-tiba saja sang papa memberi tahunya tentang keputusan sepihaknya. Tiara akan dijodohkan oleh laki-laki pilihan sang papa. Bagaimana na...