Biarlah rasa mengembun, akan ada mentari menghangatkan kebekuannya ibarat hati yang sudah retak akan sembuh dengan cinta yang tulus.
Beranjak dari tidur lelap, pasangan suami istri melaksanakan sholat malam berjamaah. Lantunan ayat suci menghangatkan jiwa yang lelah.
Bersimpuh dalam sujud dan tahiyyat mengagungkan Rabb dan Rosul-Nya kedua manusia itu lena dalam khusyu'.
Mentari tidak selamanya redup dikarenakan mendung, akan ada awan menyibak pekat gelap tersebut. Walaupun masih menyisakan gumpalan kelabu.
Seperti perjalanan ke Padang kali ini terasa berbeda bagi Atiqa. Ia sendiri yang mengajak suaminya berangkat ke sana, ketika ada undangan walimah dari kerabat Asyraf yang sudah menatap di ranah minang.
"Adek nggak apa-apa?" Asyraf memastikan kembali keadaan istrinya ketika sudah berada dalam mobil jemputan. Sejak di Aceh, Asyraf sudah meminta agar jangan dipaksakan dulu, bisa belajar pelan-pelan. Tapi lelaki itu justru kaget, mengetahui hal baru, bahwa sisi keras kepala bergelayut pada istri keduanya.
Wanita itu menggeleng. Hatinya sudah mantap ingin masuk ke dalam mahligai suaminya dan berkenalan lebih dekat dengan keluarga Asyraf. Hati wanita itu sudah siap ketika mobil berhenti di depan rumah yang di tempati Hanisya, istri pertama suaminya.
"Abang sudah datang?" begitu besar kerinduan yang terpancar dari mata Hanisya, dengan penuh takzim wanita tersebut mencium tangan suaminya setelah menjawab salam Asyraf dan Atiqa.
Kemudian ia menyalami adik madunya seraya mencium pipi wanita itu lantas menyuruh keduanya masuk.
Kecanggungan hanya berpihak pada Atiqa, yang sedari kemarin mempersiapkan diri tetap terlihat bingung dalalm keadaan seperti ini.
"Abang dan Atiqa nginap di sini kan?" tanya Hanisya setelah asisten rumah tangganya menyuguhkan minuman berwarna orange dan berlalu ke dapur.
"Iya, semoga Atiqa betah." Asyraf yang menjawab, matanya tidak lepas menatap putri waled Hasan yang duduk di hadapannya. Senyum dan anggukan kepala Atiqa memberi jawaban pasti. "Maaf, kalau nanti aku merepotkan," ujar Atiqa, karena selanjutnya, aku mungkin juga akan tetap tinggal di sini. Lanjutnya dalam hati. Mendengar perkataan Atiqa, Hanisya tersenyum seraya menggeleng kepala.
"Nggak kok, aku senang kamu di sini. Kalau kamu mau, kita bisa tinggal bersama." Hanisya menatap wajah suaminya. "Ya kan, Bang?"
Anggukan kepala Asyraf menjadi jawaban bagi Hanisya. Senyum lebar dengan mata berbinar menghiasai wajah yang kali ini tidak tertutup niqab, hanya jilbab panjang berwarna hitam terulur.
Bahagianya Hanisya bisa bersama suami dan adik madunya. Do'a terkabul sudah, pintanya di setiap sujudnya telah Allah jawab. Tidak ada yang lebih membahagiakan wanita itu, hanya melihat suaminya di pelupuk mata dan mereka bertiga rukun telah menjadi semangat juangnya.
Ia kembali teringat ayat Allah, Fabiayyi sama irabbikumaa tukadzibaan.
"Abang, ke kamar kak Hani.
Adek mau mandi dulu," pinta Atiqa ketika mereka sudah di kamar.
"Abang tunggu di sini."
Atiqa menggeleng, ia mengambil tangan suaminya dan mencium dengan dalam.
"Adek tidak marah, benar. Adek hanya tidak ingin Abang sendiri." tangan besar itu diciumnya berkali-kali hingga senyum terbit di bibir lelaki itu.
"Abang pun tidak merasa sendiri, karena disisi Abang, sudah ada dua bidadari
cantik."
Rengkuhan hangat tercipta, kala Asyraf mendekap tubuh Atiqa. "Mandilah, Abang tunggu."
KAMU SEDANG MEMBACA
PURNAMA DI UFUK MESRA ✔
General FictionFOLLOW DULU AGAR BISA BUKA BAB LENGKAP💕 "Assalamu'alaikum zaujati." "Wa'alaikumsalam." "Hanisya, kenalkan istri Abang, Syarifah maula atiqa." Dua wanita tersebut saling berpandangan, Hanisya istri pertama Asyraf mengulurkan tangan terlebih dahulu m...